Thrifting, atau membeli pakaian bekas, semakin populer di kalangan Gen Z. Namun, di balik tren ini, ada sisi gelap yang tidak banyak diketahui. Salah satunya adalah penolakan keras dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terhadap usaha legalisasi bisnis thrifting. Artikel ini akan mengungkap lima alasan utama mengapa Purbaya menolak legalisasi thrifting dan bagaimana hal ini berdampak pada Gen Z.
Apa Itu Thrifting?
Thrifting adalah aktivitas membeli barang bekas, terutama pakaian, dari toko-toko khusus atau orang-orang yang menjualnya. Di Indonesia, bisnis ini sangat diminati karena harganya yang murah dan keberlanjutan lingkungan. Namun, meskipun trennya sedang naik, Purbaya secara tegas menolak untuk melegalkan bisnis ini, bahkan jika pedagang bersedia membayar pajak.
Alasan Purbaya Menolak Legalisasi Thrifting

1. Mengancam UMKM Lokal
Salah satu alasan utama Purbaya menolak legalisasi thrifting adalah karena khawatir bisnis ini akan mengancam UMKM lokal. Menurutnya, impor pakaian bekas bisa membuat UMKM sulit bersaing karena harga yang lebih murah. Meskipun para pedagang thrifting menyatakan bahwa mereka juga termasuk UMKM, Purbaya tetap menilai bahwa bisnis ini bisa merusak industri dalam negeri.
2. Masalah Kesehatan dan Kebersihan
Purbaya juga mengkhawatirkan masalah kesehatan dan kebersihan dari pakaian bekas yang diimpor. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin mengizinkan barang bekas yang mungkin mengandung bahan kimia berbahaya atau tidak layak pakai. Ini menjadi alasan kuat untuk melarang impor pakaian bekas, meskipun pedagang bersedia membayar pajak.
3. Tidak Ada Hubungan antara Pajak dan Legalitas

Menurut Purbaya, bayar pajak bukanlah jaminan untuk membuat suatu bisnis legal. Ia menegaskan bahwa aturan larangan impor pakaian bekas sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022. Jadi, bahkan jika pedagang thrifting siap membayar pajak, itu tidak berarti bisnis mereka bisa dilegalkan.
4. Perlindungan Industri Dalam Negeri
Purbaya juga menekankan bahwa larangan impor pakaian bekas bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri, terutama UMKM. Ia mengatakan bahwa pemerintah harus fokus pada perlindungan produsen lokal daripada membiarkan bisnis yang bisa merusak ekonomi dalam negeri.
5. Pengawasan yang Ketat
Selain alasan-alasan di atas, Purbaya juga mengatakan bahwa pemerintah akan terus melakukan pengawasan ketat terhadap impor pakaian bekas. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada barang ilegal yang masuk ke Indonesia. Dengan demikian, legalisasi thrifting bisa membuka celah bagi praktik ilegal yang merugikan masyarakat.
Bagaimana Dampaknya pada Gen Z?
Gen Z adalah generasi yang sangat peduli terhadap lingkungan dan keberlanjutan. Mereka sering menggunakan thrifting sebagai cara untuk memperoleh pakaian dengan harga murah dan ramah lingkungan. Namun, dengan penolakan Purbaya, Gen Z mungkin akan kesulitan untuk terus melakukan aktivitas ini secara legal.
Meski begitu, Gen Z tetap bisa mencari alternatif lain seperti membeli dari toko lokal atau bergabung dengan komunitas thrifting yang lebih transparan. Selain itu, mereka juga bisa mempromosikan keberlanjutan melalui media sosial agar lebih banyak orang sadar akan pentingnya thrifting.
Kesimpulan
Penolakan Purbaya terhadap legalisasi thrifting memiliki dampak yang cukup besar, terutama bagi Gen Z yang sangat menggemari aktivitas ini. Meskipun ada alasan-alasan logis di balik penolakan tersebut, Gen Z tetap bisa menemukan cara untuk terus berpartisipasi dalam dunia thrifting dengan cara yang lebih aman dan berkelanjutan.
Jika kamu seorang Gen Z yang tertarik dengan thrifting, cobalah untuk mencari toko-toko lokal yang menjual pakaian bekas dengan kualitas baik. Dengan begitu, kamu bisa tetap menikmati keuntungan dari thrifting tanpa perlu khawatir tentang legalitasnya.

















