Dicari Lahan TPU Baru di Tengah Krisis Makam Jakarta: Solusi dan Perkembangan Terkini

Jakarta, kota yang terus berkembang pesat, kini menghadapi tantangan serius dalam hal penyediaan lahan pemakaman. Dengan jumlah penduduk yang meningkat dan tingkat kematian yang stabil, krisis lahan makam semakin mengkhawatirkan. Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) DKI Jakarta, Fajar Sauri, membenarkan bahwa kapasitas lahan permakaman di Jakarta mulai menipis. Prediksi ini menyatakan bahwa dalam tiga tahun ke depan, Jakarta mungkin tidak lagi memiliki lahan makam jika tidak ada penambahan petak atau perluasan TPU.

Artikel ini akan membahas secara lengkap mengenai situasi krisis lahan makam di Jakarta, solusi yang sedang dikaji oleh Pemprov DKI, serta perkembangan terkini terkait penambahan lahan TPU baru. Pembaca akan mendapatkan wawasan mendalam tentang dampak keterbatasan lahan makam bagi warga, tantangan yang dihadapi, dan upaya pemerintah dalam mengatasi masalah ini.

Mengapa Jakarta Mengalami Krisis Lahan Makam?

TPU Jakarta yang penuh

Krisis lahan makam di Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor utama. Pertama, jumlah kematian di Jakarta terus meningkat, sementara luas lahan pemakaman nyaris tidak bertambah signifikan. Dari 80 TPU yang tersebar di lima wilayah, sebanyak 69 di antaranya sudah penuh. Dalam sepuluh tahun terakhir, penambahan lahan hanya sekitar 3,5 persen, jauh dari cukup untuk menampung jenazah baru.

Selain itu, harga tanah di Jakarta sangat mahal, mencapai hingga Rp 15 juta per meter persegi di wilayah pusat kota. Upaya pembelian atau perluasan lahan baru sering terkendala oleh keterbatasan anggaran dan tingginya nilai jual tanah. Penolakan warga terhadap pembukaan TPU baru di dekat permukiman juga menjadi hambatan besar. Warga khawatir keberadaan makam akan menurunkan nilai tanah dan mengganggu kenyamanan lingkungan.

Kondisi ini memaksa banyak keluarga akhirnya memilih sistem pemakaman tumpang sebagai jalan keluar. Dalam satu liang lahat, hingga lima jenazah keluarga dapat dimakamkan secara bertumpuk dengan jarak waktu minimal tiga tahun antarjenazah.

Dampak Keterbatasan Lahan Makam bagi Warga

TPU Tegal Alur yang sedang diperluas

Krisis lahan makam memaksa banyak keluarga di Jakarta menerima praktik pemakaman tumpang, meski secara emosional terasa berat. Di TPU Tanah Kusir dan Pondok Kopi, misalnya, satu nisan bisa berisi tiga hingga lima nama dari satu keluarga. Peziarah pun sering bingung mencari makam karena jarak antarpetak nyaris tak ada.

Bagi warga miskin, keterbatasan lahan memperburuk kesulitan biaya. Mereka harus membayar jutaan rupiah untuk pemakaman di lahan wakaf atau swasta, apalagi apabila tak memiliki KTP Jakarta. Kasus seperti Sudarto di Grogol menunjukkan betapa sulitnya pemakaman layak bagi warga rentan.

Warga kelas menengah dan atas kadang memilih pemakaman di luar Jakarta, seperti di Karawang atau Bogor. Namun, bagi warga kecil, pilihan itu tidak realistis karena biayanya tinggi dan jaraknya jauh dari keluarga.

Keterbatasan lahan juga mengancam kelayakan sosial: seseorang bahkan bisa kehilangan haknya untuk dimakamkan di kota tempat ia lahir dan tinggal seumur hidup. Krisis ini mencerminkan ketimpangan ruang yang makin nyata di Jakarta.

Langkah Pemprov Jakarta dalam Mengatasi Krisis Lahan Makam

Pemerintah Provinsi Jakarta berupaya menambah kapasitas makam dengan dua strategi utama, yakni optimalisasi lahan yang ada dan pembukaan TPU baru. Gubernur Pramono Anung memerintahkan pendataan ulang lahan pemakaman serta pemanfaatan lahan milik pemprov yang belum digunakan.

Langkah cepat yang sedang dikaji ialah alih fungsi sebagian TPU khusus Covid-19, seperti di Rorotan dan Tegal Alur, menjadi TPU reguler. Banyak makam Covid-19 tak lagi memiliki ahli waris sehingga bisa digunakan kembali untuk pemakaman umum.

Pemprov juga menjajaki kerja sama dengan daerah penyangga seperti Depok dan Tangerang untuk menyediakan TPU regional. Skema lintas daerah ini dianggap solusi jangka menengah bagi warga Jakarta yang tetap ingin dimakamkan di kawasan sekitar ibu kota.

Selain itu, perluasan TPU Pegadungan di Jakarta Barat dan rencana pembangunan TPU baru di Tegal Alur seluas 66 hektar menjadi prioritas. Pemerintah berharap tambahan lahan itu mampu menampung kebutuhan hingga beberapa tahun mendatang.

Mengapa Pemakaman Tumpang Dianggap Solusi Sementara?

Pemakaman tumpang muncul sebagai solusi paling realistis di tengah kemacetan lahan. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007, yang memperbolehkan satu makam digunakan kembali setelah tiga tahun. Praktik ini hanya untuk anggota keluarga sedarah.

Selain menghemat ruang, sistem tumpang juga menekan biaya. Tarif pemakaman tumpang hanya sekitar seperempat dari biaya pemakaman baru. Bagi keluarga berpenghasilan rendah, ini jadi satu-satunya cara untuk tetap dimakamkan di Jakarta.

Namun, kebijakan ini bukan tanpa masalah. Praktik tumpang sering menimbulkan kebingungan identifikasi, bahkan muncul kasus pungutan liar di TPU lama. Banyak makam lama tidak diperpanjang izinnya, lalu disewakan ulang oleh oknum tanpa izin resmi.

Meski penuh risiko, tumpang tetap dijalankan karena menjadi satu-satunya cara menjaga ketersediaan lahan. Pemerintah menyadari bahwa tanpa terobosan besar, TPU Jakarta hanya akan mampu bertahan sekitar tiga tahun ke depan.

Tantangan Utama dalam Menambah Lahan Makam Baru

Tantangan terbesar dalam menambah lahan makam baru ialah mahalnya harga tanah dan penolakan warga. Di wilayah padat seperti Jakarta Pusat, biaya untuk satu petak makam bisa mencapai Rp 56 juta. Situasi ini membuat perluasan TPU hampir mustahil dilakukan.

Selain harga, banyak warga menolak jika lahan di sekitar rumah dijadikan pemakaman. Mereka menilai keberadaan TPU dapat mengurangi nilai properti dan menimbulkan kesan kurang nyaman di lingkungan.

Pemerintah juga menghadapi hambatan birokratis dan keterbatasan lahan milik daerah yang belum tersertifikasi. Dari total aset tanah pemprov senilai Rp 544 miliar, sebagian besar belum bisa segera dimanfaatkan.

Di sisi lain, pembebasan lahan baru membutuhkan waktu panjang dan anggaran besar. Karena itu, pemprov kini lebih mengandalkan optimalisasi lahan yang ada serta kerja sama lintas wilayah sebagai strategi jangka pendek mengatasi krisis makam di Jakarta.

Kesimpulan

Krisis lahan makam di Jakarta adalah isu serius yang memerlukan solusi cepat dan berkelanjutan. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah dan lahan yang semakin sempit, Pemprov DKI Jakarta terus mencari alternatif untuk menambah kapasitas pemakaman. Strategi seperti optimalisasi lahan, kerja sama lintas wilayah, dan pengembangan TPU baru menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan ini.

Selain itu, sistem pemakaman tumpang menjadi solusi sementara yang masih dijalankan hingga ada penambahan lahan makam yang lebih permanen. Meskipun memiliki tantangan, sistem ini memberikan opsi bagi warga yang tidak mampu membeli lahan makam baru.

Dengan adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah, diharapkan krisis lahan makam di Jakarta dapat segera teratasi, sehingga setiap warga Jakarta tetap memiliki hak untuk dimakamkan di kota tempat ia tinggal.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *