Lead: Konflik agraria di Indonesia terus berulang, dengan oknum aparat sering menjadi bagian dari mekanisme pengalihan tanah dari rakyat ke perusahaan besar. Penyebab utamanya adalah sistem pemberian izin yang tidak transparan dan kurangnya perlindungan hukum bagi masyarakat.
Fakta Utama
Konflik agraria di Indonesia bukanlah hal baru. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2012), sekitar 59 persen dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait lahan. Dalam satu rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, pada 25 Januari 2012, Direktur Pascapanen dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan Herdradjat Natawidjaja menyebutkan bahwa ada sekitar 591 konflik yang telah diidentifikasi di 22 provinsi dan 143 kabupaten.
Kasus ini tidak hanya terjadi dalam sektor perkebunan. Di Sumatera Utara, Kejaksaan Tinggi (Kejati) setempat menaikkan kasus dugaan korupsi penjualan aset lahan milik PT Perkebunan Nusantara I (PTPN I) oleh PT Nusa Dua Propertindo kepada Ciputra Land ke tahap penyidikan. Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut Harli Siregar, kasus ini bermula dari penjualan aset tanah seluas 8.077 hektare oleh PT Nusa Dua Propertindo ke Ciputra Land tanpa memberikan hak negara sebesar 20% sesuai regulasi.

Konfirmasi & Narasi Tambahan
Menurut Noer Fauzi Rachman, Direktur Sajogyo Institute dan dosen di Institut Pertanian Bogor, konflik agraria struktural disebabkan oleh pemberian izin oleh pejabat publik yang memasukkan tanah dan sumber daya alam (SDA) ke dalam proyek perusahaan besar. “Pejabat publik ini dimotivasi oleh kepentingan ekonomi atau rente, sehingga mereka terus-menerus memberikan izin tanpa mempertimbangkan hak masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Asisten Pengawasan dan Penuntutan (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Lukas Alexander Sinuraya mengungkapkan bahwa mantan direktur PT RSA, ANH, ditahan karena diduga merugikan negara sebesar Rp 237 miliar melalui penjualan tanah milik yayasan ke perusahaan daerah. “Tanah tersebut seharusnya dikelola oleh PT RSA untuk kontribusi, tetapi justru dijual ke PT CSA tanpa izin Kodam IV/Diponegoro,” katanya.

Analisis Konteks
Konflik agraria tidak hanya mengancam hak masyarakat atas tanah, tetapi juga berdampak pada stabilitas sosial dan ekonomi. Studi dari Institut Titian Perdamaian (2012) menunjukkan bahwa banyak konflik etnis dan agama di Indonesia dilatarbelakangi oleh perebutan tanah dan sumber daya alam. Hal ini menunjukkan bahwa masalah agraria adalah akar dari banyak konflik lain.
Selain itu, konflik agraria yang tidak terselesaikan dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Rakyat merasa tidak dilindungi ketika oknum aparat terlibat dalam pengalihan tanah secara ilegal. Dalam situasi ini, masyarakat cenderung memprotes pemerintah dan mencari solusi melalui organisasi gerakan sosial atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Data Pendukung
- Produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia meningkat pesat dari tahun ke tahun, mencapai 21,0 juta ton pada 2010 dan diperkirakan naik menjadi 22,0 juta ton pada 2011.
- Luas konsesi perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 8,1 juta hektar (Dirjenbun 2012), namun estimasi dari Sawit Watch (2012) menyebutkan luasnya mencapai 11,5 juta hektar.
- Sebanyak 591 konflik agraria telah diidentifikasi di 22 provinsi dan 143 kabupaten (Herdradjat Natawidjaja, 2012).
- Kerugian negara dalam kasus penjualan tanah milik yayasan ke PT CSA diperkirakan mencapai Rp 237 miliar (Lukas Alexander Sinuraya, 2025).
![]()


















