REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Beberapa hari lalu, sejumlah mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia menggelar aksi kecil untuk menuntut transparansi penggunaan dana Uang Kuliah Tunggal (UKT). Meski tidak sebesar demo besar yang pernah terjadi, aksi ini menunjukkan semangat mahasiswa dalam memperjuangkan hak mereka sebagai pengguna dana pendidikan.
Di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, beberapa mahasiswa tetap turun ke jalan meskipun kampusnya menerbitkan surat penolakan. Surat tersebut dinilai oleh sebagian mahasiswa sebagai tindakan yang tidak melibatkan partisipasi langsung dari mahasiswa.
Alif Jabal Kurdi, seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, menyatakan bahwa surat yang dikeluarkan oleh rektorat tidak memiliki dasar yang kuat. “Surat itu hanya berisi asumsi-asumsi seperti adanya penunggang gelap dan anarkisme tanpa sumber yang jelas,” katanya.
Sementara itu, Kiki Wijayanti, mahasiswa UGM, mengatakan bahwa walaupun rektorat mengimbau agar tidak ikut demo, para mahasiswa tetap ingin menunjukkan keberadaan mereka. “Kami ingin membuktikan bahwa mahasiswa masih ada dan memiliki nalar kritis terhadap situasi bangsa ini,” ujarnya.

DI KOTA PADANG, Sumatera Barat, ratusan mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang juga menggelar aksi protes. Mereka menuntut transparansi keuangan kampus, karena merasa tidak paham bagaimana dana yang mereka bayarkan digunakan. “Kami membayar UKT dan kampus juga mendapatkan dana dari negara, tapi kami tidak tahu bagaimana dana tersebut digunakan,” ujar koordinator aksi, Muhammad Jalaludin.
Rektor UIN Imam Bonjol Padang, Eka Putra Wirman, mengakui bahwa pihaknya memberi apresiasi terhadap aspirasi mahasiswa. Namun ia menegaskan bahwa transparansi harus dilakukan secara resmi, bukan melalui demonstrasi. “Kalau saya menjelaskan dan mahasiswa teriak, tentu tidak bisa,” katanya.

DI JAYAPURA, Papua, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih (Uncen) memberikan klarifikasi resmi terkait demonstrasi yang ricuh. Ketua BEM Uncen, Yanes Hisage, menuding aparat kepolisian bertindak represif saat membubarkan aksi unjuk rasa. “Kami justru ditekan oleh polisi untuk bubar sebelum aspirasi disampaikan,” katanya.
Direktur LBH Papua, Festus Ngoranmele, menyebut bahwa bentrok antara mahasiswa dan aparat kepolisian sebenarnya tidak akan terjadi jika pihak kampus mendengarkan tuntutan mahasiswa. “Polisi tidak seharusnya bertindak semena-mena, apalagi di dalam kampus,” ujarnya.

PENELITI PENDIDIKAN, Dr. Suryadi, mengatakan bahwa aksi mahasiswa ini menunjukkan pentingnya partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan kampus. “Transparansi keuangan adalah hak setiap mahasiswa. Kampus harus lebih terbuka dalam pengelolaan dana,” katanya.
Dari berbagai kampus di Indonesia, aksi kecil ini menjadi bukti bahwa mahasiswa tidak hanya fokus pada studi, tetapi juga peduli terhadap isu-isu sosial dan kebijakan kampus. Dengan cara yang damai, mereka berusaha menuntut hak-hak mereka sebagai pengguna dana pendidikan.


















