Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menahan empat tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Keempatnya adalah Wakil Ketua DPRD OKU, Parwanto; anggota DPRD OKU, Robi Vitergo; serta dua orang wiraswasta, Ahmat Thoha dan Mendra SB. Mereka ditahan selama 20 hari terhitung sejak 20 November hingga 9 Desember 2025 di Rutan Cabang Gedung Merah Putih KPK.
Kasus ini merupakan pengembangan dari enam tersangka sebelumnya yang saat ini menjalani persidangan. Dugaan korupsi berjamaah ini mencerminkan praktik sistematis yang melibatkan pejabat pemerintah daerah dan pihak swasta, dengan modus jual-beli proyek dan pembagian fee yang dilakukan secara terstruktur.
Kronologi Lengkap
Kasus ini bermula dari proses perencanaan anggaran tahun 2025 Pemkab OKU, di mana terjadi pengkondisian jatah pokok pikiran (pokir) bagi Anggota DPRD. Jatah pokir disepakati sebesar Rp45 miliar, namun karena keterbatasan anggaran, nilai tersebut turun menjadi Rp35 miliar. Para anggota DPRD meminta jatah sebesar 20 persen, sehingga total fee mencapai Rp7 miliar dari total anggaran.
Saat APBD tahun 2025 disetujui, anggaran Dinas PUPR justru mengalami kenaikan dari Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar. Praktik jual-beli proyek dengan memberikan fee kepada Pejabat Pemkab OKU dan/atau DPRD telah menjadi kebiasaan.
Kepala Dinas PUPR OKU Nopriansyah (NOP) diduga mengondisikan sembilan proyek melalui e-katalog, dengan komitmen fee sebesar 22 persen, rincian 2 persen untuk Dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD. Proses ini melibatkan pihak swasta seperti Muhammad Fakhrudin dan Ahmad Sugeng Santoso.
Mengapa Menjadi Viral?
Kasus ini viral karena melibatkan banyak pejabat dan praktik korupsi yang terstruktur. Publik terkejut dengan skala korupsi yang mencapai miliaran rupiah dan adanya dugaan keterlibatan anggota DPRD. Selain itu, penahanan empat tersangka baru yang sebelumnya sempat dipulangkan setelah OTT menunjukkan bahwa penyidik KPK berhasil menemukan bukti tambahan.
Selain itu, respons media dan masyarakat terhadap penahanan para tersangka juga meningkatkan perhatian publik. Video dan foto keempat tersangka saat tiba di KPK tersebar luas di media sosial, memicu diskusi tentang korupsi di tingkat daerah.
Respons & Dampak
Respons masyarakat terhadap kasus ini sangat negatif. Banyak warga mengkritik praktik korupsi yang merugikan keuangan daerah dan mengurangi kualitas layanan publik. Tokoh masyarakat dan aktivis anti-korupsi menuntut transparansi dan keadilan dalam penanganan kasus ini.
Di sisi lain, pihak DPRD OKU dan Pemkab OKU belum memberikan respons resmi. Namun, kasus ini diharapkan bisa menjadi momentum untuk memperkuat pengawasan dan akuntabilitas di lingkungan pemerintahan daerah.
Fakta Tambahan / Klarifikasi
KPK menyatakan bahwa keempat tersangka sempat terjaring operasi tangkap tangan (OTT) pada 16 Maret 2025, tetapi dipulangkan karena kurangnya alat bukti. Setelah penyidikan lanjutan, KPK menemukan bukti tambahan yang cukup untuk menetapkan mereka sebagai tersangka.
Para tersangka dijerat dengan pasal-pasal terkait korupsi, termasuk Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara itu, pihak swasta diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Penutup — Kesimpulan & Perkembangan Selanjutnya
Kasus korupsi berjamaah di Dinas PUPR OKU menunjukkan kerentanan sistem pengelolaan anggaran daerah. Empat anggota DPRD dan pihak swasta yang ditahan menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi di level atas, tetapi juga melibatkan berbagai pihak. Publik menantikan proses hukum yang adil dan transparan, serta langkah-langkah pencegahan lebih efektif untuk menghindari kasus serupa di masa depan.




















