Bubur Ayam Cikini, salah satu ikon kuliner legendaris di Jakarta, kembali menjadi sorotan setelah muncul kabar bahwa gerai tersebut mencoba menambahkan topping foie gras. Makanan yang biasanya disajikan dengan ayam suwir, kacang goreng, dan telur mentah, kini dikabarkan memperkenalkan bahan premium asal Prancis ini. Pertanyaannya, apakah ini inovasi atau penistaan?
Kronologi kejadian ini berawal dari laporan media lokal yang menyebutkan bahwa seorang pengunjung mengunggah foto bubur ayam Cikini dengan toping foie gras. Video tersebut viral di media sosial, memicu perdebatan antara pendukung dan penentang ide tersebut. Banyak netizen merasa terkejut karena foie gras dianggap tidak sesuai dengan konsep tradisional bubur ayam.


Mengapa Bubur Ayam Cikini jadi viral?
Pemicu utama keviralan ini adalah perpaduan unik antara tradisi dan modernitas. Bubur Ayam Cikini sudah dikenal sebagai tempat makan tradisional yang menjual bubur dengan racikan khas. Namun, masuknya foie gras—sebuah hidangan mewah yang biasanya dinikmati dalam restoran gourmet—menimbulkan reaksi keras dari sebagian masyarakat. Ada yang melihat ini sebagai langkah inovatif untuk menarik generasi muda, sementara yang lain menganggapnya sebagai pencemaran citra kuliner lokal.
Respons dan dampak
Sejumlah warga dan komunitas kuliner langsung bereaksi. Beberapa netizen mengkritik ide ini dengan menyebutnya sebagai “penistaan” terhadap tradisi. Di sisi lain, ada yang mendukung inovasi ini sebagai cara untuk memperkenalkan budaya kuliner Indonesia pada dunia internasional.
Dari sisi bisnis, pengelola Bubur Ayam Cikini belum memberikan klarifikasi resmi. Namun, beberapa pelanggan mengatakan bahwa mereka tetap datang meskipun ada perubahan menu. Dampak ekonomi juga terlihat, dengan peningkatan jumlah pengunjung di hari-hari pertama pemberitaan.
Fakta tambahan dan klarifikasi
Menurut informasi yang diperoleh, foie gras hanya tersedia di beberapa gerai Bubur Ayam Cikini, bukan di semua cabang. Selain itu, harga bubur dengan topping foie gras lebih mahal dibanding varian biasa. Meski begitu, masih banyak yang mempertanyakan alasan penggunaan bahan tersebut, terutama karena harganya yang sangat tinggi.
Beberapa ahli kuliner mengatakan bahwa inovasi seperti ini bisa menjadi langkah strategis untuk memperluas pasar, terutama bagi kalangan menengah atas. Namun, penting untuk menjaga keseimbangan antara inovasi dan keaslian.
Penutup
Bubur Ayam Cikini dengan toping foie gras menjadi isu yang memicu diskusi luas tentang identitas kuliner lokal. Apakah ini inovasi atau penistaan, jawabannya mungkin akan tergantung pada perspektif masing-masing orang. Publik tetap menantikan respons resmi dari pengelola Bubur Ayam Cikini dan bagaimana mereka akan menghadapi kritik ini.



















