Pembinaan Politik: Olahraga Sebagai Alat Kontrol Pemerintah

● Dengan dalih nation building, negara mengawasi penduduk melalui olahraga.

● Kebijakan olahraga pemerintah berfokus pada pencapaian yang menguntungkan atlet elit.

● Kepentingan masyarakat dalam olahraga semakin diabaikan.

Demokrasi Indonesia menurunPerdebatan masyarakat sering kali dipengaruhi oleh berita tentang pengurangan kebebasan warga, penguatan sistem otoriter, serta penguatan konglomerat dan keluarga-keluarga politik. Kondisi ini—yang menunjukkan dominasi pemerintah—semakin membahayakan kehidupan rakyat.

Di tengah kegembiraan ini, terdapat satu aspek kehidupan berbangsa yang sering tidak dibahas: olahraga.

Sejarah membuktikan bagaimana negara sering memanfaatkan olahraga sebagai alat politik. Pemerintah yang otoriter menggunakan olahraga untuk menciptakan citra dan memperkuat legitimasi kekuasaan mereka dalambingkai nation-building.

Olahraga, dengan maknanya yang simbolis, digunakan untuk mengatur narasi kehidupan berbangsa tanpa terlihat memaksa.

Pemerintah dan urusan olahraga

Hingga akhir tahun 1950-an, sebagian besar pemerintah di seluruh dunia pada dasarnya tidak terlalu memperhatikan masalah olahraga.

Partisipasi pemerintah dalam olahraga dan kegiatan rekreasi lebih dipengaruhi oleh alasan untuk mengontrol danmempertahankan hak istimewa kalangan elit. Contohnya Game Lawsdi Inggris, olahraga berburu hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan.

Hanya setelah tahun 1960-an, prestasi atletik tingkat tinggi dari Jerman Timur dan Uni Soviet membuat negara-negara menyadari kemampuan olahraga dalam meningkatkan rasa percaya diri.

Kebijakan olahraga di berbagai negara mulai fokus pada olahraga elit—atau yang berorientasi kompetisi—khususnya dalam peningkatan anggaran. Hal ini karena dianggap mampu meningkatkan rasa bangga negara.

Seiring waktu, perhelatan akbar olahraga (sports mega-events)kemudian menjadi sarana yang penting dalam diplomasi dan kebijakan luar negeri.

Kebijakan olahraga di Indonesia

Di Indonesia, pemerintah telah terlibat dalam mengatur olahraga sejak awal kemerdekaan. Sukarno memanfaatkan olahraga sebagai alat untuk menciptakan identitas nasional dan menjaga kedaulatan negara. Bentuk nyata dari hal tersebut adalah melalui penyelenggaraan acara besar seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama pada tahun 1948, Asian Games 1962 danPermainan Kekuatan Baru yang Muncul GANEFO 1963.

Suharto juga memanfaatkan olahraga sebagai alat diplomasi, namun dengan cara yang lebih lembut, berbeda dari pendahulunya yang cenderung bersikap konfrontatif. Pada masa itu, Indonesia kembali menjalin hubungan baik dengan IOC dan ikut serta dalam SEA Games untuk pertama kalinya.pada 1977.

Ketertarikan rezim Orde Baru terhadap stabilitas politik juga memengaruhi dunia olahraga. Dalam bukuPolitik pembagian kekuasaan preman: Organisasi masyarakat dan kekuatan jalanan di Indonesia pasca Orde Baru, Ian Wilson dari Indonesia mengutipstudi Ryteryang menyebutkan bahwa istilah “pembinaan olahraga” berkaitan dengan strategi pengendalian sosial terhadap Klub Remaja dan Organisasi Kemasyarakatan oleh militer pada tahun 1970-an.

Kata tersebut umum digunakan dalam sistem pengelolaan olahraga.sampai sekarangPemilihan kata “pembinaan” menggambarkan hubungan yang bersifat paternalistik, di mana pemerintah bertindak sebagai pembina sementara masyarakat penggiat olahraga menjadi objek yang diberi bimbingan.

Logika “pembinaan” selanjutnya menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan, dengan pemerintah sebagai pelaku utama yang mengatur masalah olahraga.

Mekanisme pengendalian olahraga

Kebijakan olahraga di suatu negara sering diakibatkan olehperlombaan prestasi secara globalPersaingan dalam lingkungan yang sama menyebabkan kebijakan olahraga antar negaracenderung mendekati dan saling berkaitan.

Tren tersebut juga muncul karena dampak dari globalisasi, komersialisasi, dangovernmentalisasi—perluasan tugas pemerintah melalui sistem birokrasi yang semakin terstruktur dan tetap.

Kebijakan olahraga Indonesia yang diatur dalam Peraturan Presiden 86/2021 mengenaiRencana Besar Olahraga Nasional (RBON)tidak terlepas dari pengaruh tersebut.

Mengacu pada studi tipologi tradisi negara dan tipe pemerintahan kebijakan, DBON menunjukkan arah pada sistem yang berfokus pada pengendalian pemerintah.

Proses governmentalisasi terjadi melalui berbagai cara.

Pertama, dalam hal kelembagaan, DBON menuntutPembentukan Tim Koordinasi Pusat, Tim Koordinasi Provinsi, serta Tim Koordinasi Kabupaten/Kota sebagai pelaksana. Hal ini ditambah dengan partisipasi kementerian dan lembaga sebagai anggota dalam tim koordinasi. Institusi baru yang bersifat hierarkis ini memperkuat pengawasan pemerintah terhadap olahraga.

Kedua, DBON menciptakan ketergantungandi sumber daya, khususnya keuangan terhadap negara. Negara mempertahankan pengawasan karena hampir seluruh organisasi olahraga (nasional maupun lokal) bergantung pada dana pemerintah.

Aturan DBONyang menyebutkan bahwa menteri menyalurkan dana (Pasal 16) tampaknya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga menunjukkan siapa yang memiliki kekuasaan.

Ketiga, DBON menentukan cabang olahraga unggulanyang mendapatkan prioritas. Selain karena prestasi, olahraga yang berpotensi meningkatkan citra pemerintah menerima alokasi dana yang sangat besar.

Dari total Rp420,2 miliar yang dialokasikan untuk 13 cabang olahraga,sepak bola mendapat alokasi dana terbesaryaitu mencapai Rp199,7 miliar.

Mekanisme pengawasan lainnya berjalan lebih halus, yakni melalui narasi rasa percaya diri nasional. DalamPertemuan Kerja antara Komisi X DPRmisalnya, Menteri Pemuda dan Olahraga menekankan olahraga sebagai “duta bangsa” yang menggambarkan keunggulan Indonesia di dunia internasional.

Pandangan ini menunjukkan pengendalian terhadap prioritas olahraga yang dianggap “memuaskan” sesuai dengan kepentingan pemerintah.

Dampak dari ‘pembinaan’ olahraga yang terpusat

Pendekatan sentralistis memang unggulkarena mempercepat koordinasi antar pihak, penentuan target yang lebih dapat diukur, serta anggaran yang lebih jelas. Partisipasi pemerintah berpotensi menghasilkan sistem yang lebih efisien dan terarah.

Namun di sisi lain, pendekatan ini menimbulkan ketegangan antara pencapaian dan partisipasi: antara pengendalian dan kebebasan. Akibatnya, nilai-nilai partisipasi masyarakat dan otonomi olahraga berisiko dikesampingkan oleh tuntutan prestasi serta efisiensi birokrasi.

Karena bergantung pada dana negara, federasi olahraga terpaksa harusmenyesuaikan visi dan programnyasesuai dengan tujuan pemerintah. Tujuan tersebut biasanya berupa medali, peringkat, atau kinerja lembaga.

Selain itu, tekanan juga memicu penerapan logika pasar dan pengelolaan profesional di dunia olahraga. Akibatnya, semangat sukarela sebagai salah satu nilai penting dalam olahraga semakin tersisihkan.

Kebijakan yang terlalu fokus pada prestasi olahraga sering kali mengorbankan partisipasi. Contoh nyata adalah banyaknyafasilitas yang tidak terpakai untuk PONdan sulit diakses oleh masyarakat setelah pelaksanaanevent.

Di sinilah dampak nyata dari ketatnya pengawasan pemerintah: olahraga kehilangan sifatnya yang bersifat umum.

Kepentingan publik yang terabaikan

Meskipun sempat ada perhatian terhadap olahraga pendidikan—isi pendidikan jasmani dan olahraga sebagai bagian dari proses pembelajaran—cerita keberhasilan olahraga yang lebih sering dibahas adalaholahraga tingkat tinggi yang dinilai berdasarkan medali.

Manfaat kesehatan, sosial, dan ekonomi yang didapat masyarakat melalui olahraga sering kali tidak dipertimbangkan. Hal ini terlihat jelas dalam penempatan olahraga prestasi diTujuan Presiden dan Wakil Presiden.

Seperti ciri olahraga prestasi, “publik” yang disajikan terbatas pada kalangan elit.

Saat pemerintah telah menetapkan narasi utama “pembinaan dan pengembangan” olahraga, seluruh komponen masyarakat akan diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Di bawah“pola pemerintahan komando,”yang cenderung mengendalikan pelaksanaan kegiatan, pendapat masyarakat sering diabaikan.

Diskusi mengenai kepentingan umum dalam olahraga terdengar samar, lemah, dan tidak dianggap penting.

Artikel ini pertama kali diterbitkan diThe Conversation, situs berita non-profit yang menyebarkan ilmu pengetahuan akademis dan para peneliti.

  • Padahal, tenis, dan bulu tangkis: Mana yang paling rentan menyebabkan cedera?
  • Ilmu pengetahuan di balik menciptakan kebiasaan sehat untuk bantu wujudkan tujuan Tahun Baru

Hysa Ardiyanto mendapatkan pendanaan dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Pos terkait