Oleh: Konrad Sandur
Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Upaya untuk menjalani kehidupan yang lebih baik tidak bisa terlepas dari pendidikan. Pendidikan merupakan jalur utama dalam memperoleh pengetahuan.
Menggunakan pengetahuan, setiap individu mampu menemukan cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya.
Inti dari pendidikan adalah membuka wawasan untuk menghadapi perubahan kehidupan, kemajuan zaman, dan kebijakan masyarakat.
Sebagai bentuk desain kehidupan bersama yang lebih baik, menurut Jack H. Nagel, politik tidak dapat dipisahkan dari cakupan kekuasaan (scope of power) dan wilayah kekuasaan (domain of power).
Cakupan wewenang mengacu pada lembaga-lembaga kekuasaan seperti eksekutif, legislatif, dan yudisial.
Sementara itu, cakupan wewenang mengacu pada individu atau subjek yang memiliki otoritas terhadap kekuasaan tersebut (M. Iwan Satriawan dan Siti Khoiriah, 2019).
Ikut serta dalam membangun kehidupan bersama dapat dilakukan secara aktif, misalnya dengan terlibat dalam partai politik guna menjadi presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD, gubernur, bupati, serta walikota.
Partai politik adalah lembaga yang sah berdasarkan peraturan hukum bagi setiap warga negara dalam memperebutkan kekuasaan.
Cakupan dan wilayah wewenang dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi. Hal ini memerlukan partisipasi seluruh masyarakat.
Partisipasi seluruh pihak merupakan hal penting dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, setiap individu yang terlibat pasti memerlukan kerangka pikir untuk merencanakan dan melaksanakannya.
Sayangnya, politik sering kali terabaikan dari tujuannya dalam mengajarkan masyarakat untuk berpartisipasi penuh dalam membangun kehidupan yang lebih baik.
Menggunakan istilah Foucault mengenai tubuh yang taat (body docile) dalam berpolitik.
Sepertinya mereka telah diatur oleh istilah-istilah suku, ras, daerah, agama, dan uang.
Hal ini terlihat jelas dalam pergerakan massa selama pemilihan umum. Mereka seolah-olah berkelompok datang ke tempat memilih tanpa memiliki pengetahuan tentang alasan mereka memilih.
Ada jarak yang besar antara masyarakat sebagai sumber suara dan para peserta pemilihan.
Banyak ditemui bahwa seseorang memilih bukan karena mereka benar-benar memahami visi dan misi, melainkan lebih terpengaruh oleh pilihan-pilihan primordial seperti suku, agama, ras, dan asal daerah.
Bahaya lebih besar lagi, keputusan masyarakat terpengaruh oleh citra kandidat yang dibentuk melalui kemajuan teknologi.
Citra politik yang dibangun melalui tarian joget, masuk ke saluran air, serta pose kunjungan ke daerah terpencil di media sosial menjadi alat efektif untuk menarik dukungan dari pemilih.
Selain itu, uang politik juga menjadi alat untuk menggerakkan massa dalam memilih.
Ketidaksetiaan pemilih terhadap calon pemimpin disebabkan oleh prinsip primordial, citra diri di media sosial, serta politik uang, sehingga hubungan antara pemilih dan kandidat tidak bersifat kekal dan nyata.
Metode ini dianggap sebagai tindakan instrumental, menurut Jurgen Habermas, dan mengurangi sikap kritis masyarakat terhadap konsep kehidupan bersama dalam berpolitik.
Masyarakat bukan sekadar kumpulan orang biasa. Mereka merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Pendapat mereka sangat penting dalam menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik.
Kebijaksanaan suara rakyat sering dianggap sebagai suara Tuhan. Memelihara dan menjaganya merupakan kewajiban moral serta etis bagi seluruh pihak, terutama bagi mereka yang telah memperoleh suara dari masyarakat dalam proses politik.
Pendidikan politik bagi masyarakat merupakan jalur kembali untuk mengembalikan inti dari politik.
Rakyat perlu diajarkan untuk menyadari hak dan kewajibannya dalam ruang publik. Mereka dilatih agar meningkatkan pemikiran serta tindakannya sendiri.
Paulo Freire memperkenalkan pendekatan pendidikan dengan gagasan kesadaran yang melibatkan refleksi dan tindakan.
Kesadaran ini bagi Freire sangat penting, agar masyarakat mampu menjadi pembicara tentang kehidupannya sendiri.
“Petani adalah pengarang buku,” ujar Freire. Mereka diajarkan untuk berbicara sesuai dengan struktur lingkungan dan budaya, tempat mereka mencari penghidupan.
Bukan sebaliknya sebagai pendengar yang setia dan menjadi hamba yang memohon, “Tuan. Ya Tuan…berbicaralah dan kami akan mengikuti-Mu. Apa yang Tuan katakan, pasti benar.” (Paulo Freire, 2007).
Pendidikan politik bagi masyarakat merupakan api yang membangkitkan semangat hidup bersama menuju kebaikan yang lebih besar di era yang semakin maju.
Ia membangkitkan kesadaran bersama, membimbing warga negara untuk memahami hak dan kewajiban mereka, serta menjadikan partisipasi politik bukan hanya sekadar formalitas, tetapi tanggung jawab bersama secara moral.
Jika hanya ada Sang Manusia, yaitu manusia super yang berada di puncak kekuasaan, sedangkan manusia-manusia lainnya hanyalah sekelompok massa yang tidak memahami apa-apa, maka hal itu bukanlah politik.
Politik yang sebenarnya muncul dari partisipasi seluruh warga, mulai dari mereka yang berada di puncak hingga yang berada di lapisan paling bawah masyarakat (Otto Gusti Madung, 2009).
Terdapat tiga hal utama yang dihasilkan dari pendidikan politik masyarakat, yaitu: partai politik, media sosial, dan identitas politik. Pertama, partai politik.
Undang-undang Partai Politik menyebutkan bahwa tugas dan tanggung jawab partai politik adalah memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Sebagai mandat undang-undang, hal ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari peran partai politik.
Tugas ini tidak hanya dilakukan selama masa kampanye dalam pemilu atau pemilihan.
Namun, ia terus berlangsung dalam proses pergantian kepemimpinan. Ia tidak hanya dihasilkan melalui kebijakan-kebijakan yang dijanjikan saat kampanye.
Selain itu, hadir dan berada di tengah masyarakat yang diwakilinya merupakan tindakan nyata yang harus dilakukan oleh partai politik.
Kedua, media sosial. Pendidikan terhadap masyarakat bisa dilakukan melalui platform media sosial.
Sosial media dimanfaatkan sebagai alat untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar mereka dapat memahami berbagai informasi, peraturan, dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.
Oleh karena itu, penyelenggara dan lembaga negara dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menyebarkan informasi, peraturan, dan kebijakan secara luas kepada masyarakat. Tentu saja, batasannya adalah bersifat jujur, akurat, benar, dan jelas.
Ketiga, identitas. Pendidikan politik yang sesungguhnya bertujuan mengubah sikap masyarakat.
Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan identitas adalah perubahan keyakinan serta pola perilaku yang tetap.
Kesadaran masyarakat untuk tidak terjebak dalam sikap primordial seperti suku, agama, ras, dan politik uang.
Identitas ini dibentuk berdasarkan nilai-nilai standar yang menjadi pedoman bagi setiap individu.
Politik sebagai alat untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dimulai dari bagaimana cara mendidik masyarakat agar terlibat secara aktif dalam ruang publik.
Ia tidak dilaksanakan pada saat Pemilu dan Pilkada. Jauh sebelum momen puncak tersebut, masyarakat perlu diajarkan untuk memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Ia bisa dilakukan melalui kegiatan partai politik kepada masyarakat; memanfaatkan media sosial oleh pihak-pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada; serta identitas masyarakat yang lebih asli: bukan karena uang, bukan karena citra, tetapi karena keyakinan untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik. (*)
Ikuti terus artikel di Google News Lacak terus tulisan di Google News Jangan lewatkan artikel di Google News Kunjungi terus berita di Google News Tetap update dengan artikel di Google News



















