KONFILIK lahan di Kalimantan kembali memanas, dengan melibatkan masyarakat adat yang selama ini hidup di dalam hutan. Konflik ini tidak hanya mengancam kehidupan mereka, tetapi juga menciptakan ketegangan antara komunitas adat dan perusahaan perkebunan sawit, serta pihak berwenang. Di tengah situasi ini, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru tentang pengelolaan lahan hutan memberikan harapan baru bagi masyarakat adat, meski tantangan masih sangat besar.
Konflik Seruyan: Masalah yang Berlarut-Larut
Salah satu wilayah yang paling terkena dampak konflik lahan adalah Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Selama lebih dari 11 bulan terakhir, konflik antara warga dan perusahaan sawit di sana tidak juga reda. Nyaris 20 tahun lamanya, masalah ini belum menemukan solusi yang memuaskan semua pihak.
Penyebab utamanya adalah pengelolaan lahan sawit. Warga masih dituduh mencuri di perkebunan sawit, meskipun mereka menyatakan bahwa kebun sawit tersebut adalah hutan adat tempat mereka melakukan ritual adat. Perusahaan, di sisi lain, mengklaim memiliki izin resmi untuk mengelola lahan tersebut.
Kericuhan kian memburuk karena melibatkan aparat kepolisian. Pada Oktober 2023, Gijik (35), anggota Komunitas Adat Bangkal, tewas ditembak oleh Inspektur Satu Anang Tri Wahyu, anggota Brimob Polda Kalteng. Putusan pengadilan terhadap Anang hanya 10 bulan penjara, yang dinilai janggal dan tidak sejalan dengan rasa keadilan.
Pada Agustus 2024, bentrokan kembali terjadi antara polisi dan warga saat mereka sedang panen massal di wilayah perkebunan sawit perusahaan. Joni Iskandar, warga Desa Bukit Buluh, terluka di kaki akibat insiden ini.
Dampak pada Masyarakat Adat
Konflik ini memiliki dampak signifikan pada masyarakat adat, termasuk ancaman terhadap hak-hak mereka atas tanah dan lingkungan hidup. Direktur Save Our Borneo Muhammad Habibi menyebut lambannya perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai salah satu faktor penyebab konflik yang berlarut-larut.
Menurutnya, apa yang terjadi di Seruyan juga terjadi di Sumatera dan Papua. Hal ini membuat masyarakat mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
“Kebijakan pemerintah cenderung lebih pro terhadap investasi. Oleh karena itu, banyak lahan adat diserobot demi investasi,” ujar Habibi.
Putusan MK: Harapan Baru
Meski konflik terus berlangsung, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru memberikan harapan baru bagi masyarakat adat. MK menyatakan bahwa pasal-pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur pengelolaan lahan hutan tidak berlaku bagi masyarakat adat yang tinggal secara turun temurun di dalam hutan dan tidak untuk tujuan komersial.
Putusan ini menjadi kabar bahagia bagi masyarakat adat yang khawatir akan dikenai sanksi administratif atau kehilangan lahan mereka. Menurut Achmad Surambo dari Sawit Watch, putusan MK membantu masyarakat adat melanjutkan kehidupan mereka tanpa takut harus mendaftar atau mengikuti aturan teknis yang tidak mereka pahami.
Namun, ia juga menyoroti pentingnya klarifikasi lebih lanjut tentang arti “komersial” dan “non-komersial” dalam pengelolaan lahan. Ia menyarankan agar pemerintah menyesuaikan kebijakan turunan dari putusan MK, sehingga masyarakat adat benar-benar dilindungi.
Solusi yang Diperlukan
Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran telah berupaya memediasi masyarakat dengan perusahaan-perusahaan perkebunan sawit. Contohnya, di Desa Bangkal, gubernur datang langsung ke warga dan mendesak perusahaan untuk memenuhi tuntutan warga. Hasilnya, koperasi dibentuk dan warga diberikan kompensasi untuk mengganti kebun plasma senilai 20 persen.
Namun, jumlah perusahaan yang memenuhi kewajiban plasma 20 persen masih sangat rendah. Menurut data Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng, luas perkebunan kelapa sawit saat ini mencapai 2.281.559 hektar, dengan kebun plasma hanya sebesar 220.290,93 hektar—jauh di bawah target pemerintah.
Tantangan Besar di Masa Depan
Meski putusan MK memberikan harapan, tantangan masih sangat besar. Konflik lahan di Kalimantan dan wilayah lainnya terus berlanjut, dengan risiko ancaman terhadap kehidupan masyarakat adat dan lingkungan. Pemerintah perlu lebih serius dalam melindungi hak-hak masyarakat adat, serta menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Selain itu, perlu ada dialog terbuka antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat adat untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Tanpa langkah-langkah konkret ini, konflik lahan di Kalimantan dan daerah lainnya akan terus berulang, mengancam kehidupan dan keberlanjutan masyarakat adat.



















