Festival Film Asia Jogja-NETPAC (JAFF) yang ke-20 dibuka pada hari Sabtu, 29 November 2025. Dengan tema The Transfiguration, festival ini menjadi momen penting dalam merayakan dua dekade perjalanan JAFF. Selama acara berlangsung, terdapat pemutaran sebanyak 227 film dari 43 negara. Selain itu, JAFF juga menjadi wadah bagi para kreator IP dan pelaku industri film Indonesia untuk berkolaborasi, berjejaring, serta terhubung dengan investor melalui JAFF Market.
Setelah berjalan selama 20 tahun, momen ini menjadi refleksi bagi para penggagasnya. Pada malam pembukaan, Festival Direktur Ifa Isfansyah menyampaikan bahwa tantangan terbesar selama 20 tahun perjalanan JAFF justru datang dari ketiadaan akses terhadap arsip dan artefak sejarah festival itu sendiri. “Meskipun jumlah penonton meningkat, festival bertumbuh, dan banyak talenta baru bermunculan, semua pencapaian tersebut terancam hilang nilainya jika tidak ada jaminan bahwa film-film hari ini tetap dapat diakses oleh generasi mendatang,” ujarnya.
Contoh nyata dari masalah ini adalah saat JAFF ingin memutar kembali film Opera Jawa sebagai film pembuka tahun ini. Untuk melakukan hal tersebut, pihaknya harus meminta materi film tersebut dari Perancis. Opera Jawa merupakan karya Garin Nugroho yang diproduksi pada 2006. Film tersebut menjadi film pembuka pada helatan JAFF pertama kali pada tahun yang sama. “Ironisnya, di usia festival yang sudah dewasa ini, kami tidak lagi memiliki akses ke materi film tersebut di Indonesia,” tambah Ifa.
Namun, untungnya Perancis memiliki sistem arsip yang matang, konsisten, dan menghormati jejak perjalanan sinema. Karena itu, mereka memiliki materi film Opera Jawa sehingga bisa kembali diputar di Indonesia.
Apa yang disampaikan Ifa pada malam pembukaan merupakan bagian dari manifesto terkait tata kelola kearsipan film di Indonesia. Menurutnya, keberadaan festival ini menjadi pengingat bahwa film adalah artefak budaya yang merekam cara pandang bangsa, bahasa, suara, kegelisahan, serta harapan masyarakat pada masanya. Namun sifat film yang rapuh membuatnya mudah rusak jika tidak dipreservasi dengan benar.
Ketiadaan strategi nasional penyimpanan dan preservasi dinilai akan menyebabkan hilangnya bagian penting sejarah tiap tahun, bukan karena dirusak, melainkan karena diabaikan. Dalam pernyataan manifesto tersebut, JAFF mendesak pemerintah Republik Indonesia menempatkan arsip film sebagai prioritas kebudayaan. Seruan tersebut mencakup kebutuhan investasi jangka panjang, mulai dari infrastruktur, laboratorium preservasi, restorasi, digitalisasi, hingga komitmen menjaga memori bangsa.
Ifa juga menegaskan bahwa negara tanpa arsip film bukan hanya kehilangan sejarah, tetapi juga melemahkan fondasi masa depannya. “Sudah saatnya pemerintah Republik Indonesia menempatkan Arsip Film sebagai prioritas kebudayaan. Bukan sekadar regulasi, tetapi investasi jangka panjang, infrastruktur, laboratorium preservasi, restorasi, digitalisasi, dan yang terpenting, komitmen untuk menjaga memori bangsa.”
Ia melanjutkan, negara yang tidak memiliki arsip film bukan hanya negara yang kehilangan sejarah, tetapi negara yang tidak percaya bahwa masa depannya layak dibentuk dengan ingatan yang benar. “Kami di JAFF berkomitmen menjadi bagian kecil dari usaha ini. Tetapi tanpa kebijakan nasional, tanpa kepemimpinan pemerintah, tanpa strategi yang nyata, maka apa yang kita lakukan hanyalah menahan pasir dengan tangan kosong,” tutur Ifa.
Dalam pidatonya di acara yang sama, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengapresiasi dua dekade perjalanan JAFF. Ia juga menegaskan isu arsip film yang diangkat JAFF selaras dengan perhatian dan agenda Kementerian. “Kita bisa bekerja sama untuk melaksanakan apa yang telah disampaikan, yang sangat penting bagaimanapun arsip film ini merupakan warisan budaya, kekayaan budaya, yang luar biasa sangat penting,” ujarnya. “Ke depan kita perlu membuat museum film yang lebih representatif, termasuk untuk menyimpan dan kemudian masyarakat bisa mengakses arsip-arsip film tersebut,” tutupnya.
