Pada bulan Maret 2023, gempa bumi berkekuatan 7,4 skala Richter mengguncang wilayah Mentawai, Sumatera Barat. Meski tidak menyebabkan tsunami yang signifikan, kejadian ini memicu peringatan dini yang ternyata gagal berfungsi secara optimal. Sistem peringatan dini tsunami yang sebelumnya dipasang oleh Jerman kini menghadapi tantangan besar dalam pemeliharaan dan pengoperasian.
Sistem peringatan dini tsunami (Tsunami Early Warning System) dengan 22 buoy teknologi tinggi yang dipasang di tengah laut ternyata tidak berfungsi saat gempa terjadi. Hal ini diketahui setelah masyarakat di sekitar lokasi gempa mulai panik dan berlarian ke tempat tinggi. BMKG awalnya mengeluarkan peringatan tsunami, tetapi kemudian mencabutnya setelah beberapa jam karena tidak ada indikasi gelombang tsunami.
“Kadang sensornya diambil, kadang dikiranya UFO jatuh ke laut, ditarik ke pelabuhan. Solar cell-nya diambil. Lampunya diambil. Kadang dipakai tambatan kapal untuk jaring ikan,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB.

Masalah utama yang dihadapi adalah kerusakan pada 22 buoy tersebut akibat vandalisme dan kurangnya anggaran pemeliharaan. Biaya operasional dan pemeliharaan yang dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan sistem ini mencapai 30 miliar rupiah per tahun. Sayangnya, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) tidak memiliki anggaran yang cukup untuk memperbaiki dan menjaga sistem tersebut.
Sejak bencana tsunami 2004, Indonesia dan Jerman bekerja sama membangun sistem peringatan dini. Proyek tersebut menghabiskan dana lebih dari 7 juta Euro dan dinyatakan selesai Maret 2014. Namun, meskipun sistem teknologi canggih ini sudah terpasang, masih banyak kendala dalam pengoperasiannya.

Selain masalah teknis, evakuasi penduduk juga menjadi tantangan serius. Ahli penanganan bencana dari GIZ (Gesellschaft für internationale Zusammenarbeit), Harald Spahn, mengatakan bahwa banyak masyarakat tidak mengikuti rencana evakuasi yang telah disusun. “Mereka lari berserabutan tanpa arah. Banyak yang ingin lari menggunakan motor dan mobil, dan akhirnya malah terjebak macet di kawasan berbahaya,” katanya.
Untuk mengatasi masalah ini, BNPB meminta dukungan dari pemerintah daerah, lembaga, dan dunia usaha untuk melanjutkan program pengurangan risiko bencana. Program ini sudah tercantum dalam masterplan yang terdiri dari empat poin utama. Tapi penerapannya membutuhkan dukungan dana yang cukup besar.

Selain itu, upaya mitigasi bencana hidrometeorologi juga penting dilakukan. Mitigasi mencakup pemetaan daerah rawan, sistem peringatan dini, edukasi dan sosialisasi, pengelolaan lingkungan, serta monitoring cuaca secara berkala. BMKG dan lembaga terkait memiliki peran dalam memantau cuaca dan mengeluarkan peringatan resmi untuk membantu masyarakat mengantisipasi perubahan cuaca ekstrem.

Dengan kondisi geologis Indonesia yang rentan terhadap bencana alam, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan. Sistem peringatan dini yang berfungsi dengan baik dapat meminimalisir jumlah korban bencana alam. Namun, hal ini memerlukan komitmen dan dukungan dari semua pihak.



















