Politik Uang: Ekonomi yang Menjebak Demokrasi

Benny Sabdo 

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta

Anggota Asosiasi Penelitian Hukum Sosial Indonesia

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa

Peran dan Kiprah Jabatan

Anggota Bawaslu Jakarta, sebelumnya juga pernah menjadi

Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara.

Bagian Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, memiliki tanggung jawab untuk memastikan proses pemilihan umum berlangsung sesuai dengan aturan yang berlaku serta menangani pelanggaran yang terjadi dalam pemilu.

Aktivitas

Berkontribusi dalam pengawasan partisipatif dan penegakan hukum pemilu melalui Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu)

Pekan lalu, pada 21 November 2025, saya berperan sebagai panelis dalam simulasi debat penegakan hukum pemilu yang diselenggarakan oleh Bawaslu DKI Jakarta. Mereka merupakan perwakilan dari delegasi Universitas Trisakti, Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Indonesia.

Ketiganya mewakili DKI Jakarta dalam kompetisi debat nasional yang diselenggarakan oleh Bawaslu Republik Indonesia. Salah satu topik yang dibahas adalah politik uang. Setiap kali musim pemilu tiba, kita selalu mengkritik politik uang. Kita menyebutnya sebagai racun demokrasi. Meskipun kampanye anti-politik uang terus dilakukan, praktik serangan fajar tetap marak.

Mengapa pendekatan moralitas kekuasaan dan hukum yang berlaku umum tidak mampu menghentikan perkembangan politik uang? Jawabannya mungkin bukan hanya disebabkan oleh menurunnya nilai etika publik, melainkan karena adanya perhitungan matematis.

Jika kita mengkaji politik uang dengan menggunakan alat analisis ekonomi politik dan perilaku, maka akan terlihat bahwa bagi para pelaku politik, memberikan suap kepada pemilih bukanlah tindakan yang tidak logis, melainkan keputusan yang rasional.

Pilihan Rasional

Dalam disertasinya tentang pilar ekonomi politik, dengan mengadopsi pemikiran Gary Becker, pemenang hadiah Nobel Ekonomi yang memperkenalkan analisis ekonomi dalam hukum, Becker menyajikan argumen yang menantang, yaitu pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan individu yang rasional. Seseorang memilih untuk melanggar hukum bukan hanya karena hasrat jahat, tetapi karena pertimbangan untung-rugi.

Dalam konteks pemilihan umum, politik uang terjadi ketika manfaat yang diharapkan dari kemenangan jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Logika ini menjelaskan mengapa calon anggota legislatif atau kepala daerah berani menghabiskan miliaran rupiah.

Bawaslu sering menghadapi tantangan dalam penerapan hukum pembuktian. Praktik politik uang dilakukan dengan cara yang canggih—seperti sistem sel, menggunakan perantara, hingga model dompet digital—sehingga peluang tertangkap tangan sangat kecil.

Di sisi lain, hukumannya sering kali tidak menimbulkan efek jera. Hukuman administratif atau denda yang kecil tidak sebanding dengan peluang keuntungan yang diperoleh.

Jika seorang calon memiliki peluang tertangkap tangan sebesar 10 persen dan hukumannya hanya berupa hukuman percobaan dan/atau denda, sementara keuntungan politik yang bisa diperoleh adalah akses terhadap anggaran miliaran rupiah, maka secara matematis, melakukan praktik politik uang merupakan tindakan yang logis.

Berikut adalah beberapa variasi dari teks yang diberikan: 1. Selanjutnya, mengapa posisi jabatan begitu bernilai hingga kandidat bersedia menghabiskan uang dalam jumlah besar? Di sinilah teori perburuan rente berlaku. Dalam ilmu ekonomi politik, uang yang digelontorkan selama kampanye bukanlah bentuk sumbangan, melainkan modal yang dialokasikan dari sumber daya yang tidak produktif demi mendapatkan keistimewaan. Para aktor politik tidak memandang jabatan sebagai sarana pelayanan, tetapi sebagai akses terhadap lisensi, perlindungan bisnis, dan penyaluran proyek. 2. Mengapa jabatan memiliki nilai yang sangat tinggi hingga kandidat rela mengeluarkan dana besar? Inilah saat teori perburuan rente berlaku. Dalam ekonomi politik, dana yang dibagikan selama kampanye bukanlah bantuan sosial, melainkan investasi yang diambil dari sumber daya tidak produktif untuk meraih hak istimewa. Politisi tidak menganggap jabatan sebagai alat untuk melayani, tetapi sebagai jalan menuju lisensi, perlindungan usaha, dan pengalokasian proyek. 3. Berikutnya, mengapa posisi jabatan begitu bernilai hingga kandidat bersedia menyetorkan uang? Di sinilah teori perburuan rente bekerja. Dalam studi ekonomi politik, uang yang digunakan selama kampanye bukanlah amal, melainkan modal yang dialokasikan dari sumber daya non-produktif agar bisa mendapatkan keistimewaan. Para pemain politik tidak melihat jabatan sebagai sarana untuk berkontribusi, melainkan sebagai akses terhadap izin, perlindungan bisnis, dan alokasi proyek. 4. Selanjutnya, mengapa jabatan begitu berharga hingga kandidat bersedia menghabiskan banyak uang? Di sinilah teori perburuan rente berlaku. Dalam ekonomi politik, dana yang digunakan selama kampanye bukanlah sedekah, melainkan modal yang diambil dari sumber daya tidak produktif untuk mendapatkan keuntungan khusus. Aktor politik tidak memandang jabatan sebagai cara untuk melayani, tetapi sebagai akses terhadap izin, perlindungan bisnis, dan pembagian proyek.

Bahaya State Capture

Akibat paling berbahaya dari logika ekonomi ini adalah fenomena state capture atau penyanderaan negara. Kejadian ini merupakan tahap lanjut dari korupsi politik. Penyanderaan negara terjadi ketika para pemain oligarki tidak hanya memberikan suap kepada pegawai untuk melanggar aturan, tetapi mereka membeli pembuat aturan.

Dengan kekuatan finansial yang besar dalam pemilu, mereka memasuki proses peraturan. Akibatnya, undang-undang dan kebijakan publik yang dihasilkan tidak lagi bertujuan untuk kesejahteraan bersama, melainkan dirancang khusus untuk menguntungkan para pendukung dana.

Saat sebuah negara berada dalam tekanan, integritas demokrasi menjadi terancam. Pemilu hanya bersifat formal untuk memberikan legitimasi pada kekuasaan yang sebenarnya telah ditentukan sejak masa kampanye. Penegakan hukum menjadi tidak efektif.

Lalu, apa yang perlu dilakukan? Kita tidak bisa hanya mengandalkan kesadaran moral para politisi. Kita harus mengubah variabel dalam rumus Becker agar biaya lebih besar daripada manfaat politik.

Pertama, Bawaslu serta aparat penegak hukum perlu memprioritaskan peningkatan kemungkinan menangkap tangan pelaku praktik politik uang.

Pemanfaatan teknologi intelijen, keterlibatan PPATK dalam mengawasi aliran dana kampanye, serta perlindungan terhadap pelapor harus diperkuat.

Kedua, meningkatkan variabel sanksi. Sanksi diskualifikasi perlu diterapkan dengan tegas tanpa memandang siapa pun. Selain itu, pengasingan para koruptor politik harus menjadi standar umum, sehingga biaya yang mereka alami benar-benar merusak perhitungan keuntungan mereka.

Ketiga, kita harus membatasi kesempatan terjadinya praktik rente melalui sistem birokrasi yang lebih transparan, digitalisasi dalam pengadaan barang dan jasa, serta pembatasan wewenang berlebihan bagi pejabat pemerintah.

Jika jabatan tidak lagi menawarkan keuntungan, insentif untuk memperolehnya melalui politik uang akan berkurang. Memandang politik uang sebagai tindakan ekonomi mengajarkan bahwa selama harga kursi jabatan lebih besar daripada biaya pelanggarannya, maka pasar gelap suara akan tetap bertahan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *