Pati – Dalam beberapa bulan terakhir, kota Pati menjadi sorotan karena aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para tukang parkir. Mereka menuntut perhatian pemerintah setempat agar memberikan solusi atas masalah yang mereka alami, termasuk pengakuan atas hak-hak mereka sebagai pekerja informal. Aksi ini bukan hanya sekadar permintaan, tetapi juga mencerminkan permasalahan hukum dan sosial yang kompleks di balik tindakan mereka.
Demo yang digelar oleh para tukang parkir ini tidak lepas dari isu penegakan hukum yang ketat terhadap aktivitas mereka. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, penyediaan fasilitas parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar ruang milik jalan sesuai dengan izin yang diberikan. Namun, banyak dari mereka bekerja tanpa izin, sehingga berpotensi melanggar aturan hukum.
Selain itu, ada juga aspek sosial yang mendasari aksi tersebut. Banyak dari para tukang parkir mengatakan bahwa mereka tidak memiliki alternatif lain selain bekerja di tempat-tempat yang tidak resmi karena minimnya peluang kerja formal. Mereka juga mengeluhkan perlakuan kasar dari pengguna kendaraan dan pemilik usaha, yang sering kali memaksa mereka untuk membayar uang parkir tanpa dasar hukum.
Dari sudut pandang hukum, tindakan para tukang parkir bisa dikategorikan sebagai tindakan ilegal jika tidak memiliki izin. Namun, dari sisi sosial, mereka juga merupakan bagian dari masyarakat yang berjuang untuk hidup layak. Hal ini membuat situasi menjadi lebih rumit, karena tidak hanya menyangkut penegakan hukum, tetapi juga kesadaran akan hak asasi manusia dan keadilan sosial.
Ketua Paguyuban Sopir Pati (PSP) Syahidul Anam menjelaskan bahwa tuntutan mereka adalah agar pemerintah menyediakan pangkalan truk yang layak. “Kita kesulitan parkir, ini mobil panjangnya, kadang di pinggir jalan, kita banyak berbenturan,” katanya. Aksi ini juga menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya membutuhkan perlindungan hukum, tetapi juga solusi nyata yang bisa memperbaiki kondisi mereka.
Dalam konteks hukum, pasal 368 KUHPidana menyebutkan bahwa pemerasan atau pemaksaan untuk memberikan barang atau uang bisa dihukum hingga sembilan tahun penjara. Namun, dalam kasus tukang parkir, hal ini sering kali tidak diterapkan secara tegas, karena mereka dianggap sebagai pelaku yang tidak sepenuhnya bersalah, tetapi juga korban dari sistem yang tidak adil.
[IMAGE: tukang parkir pati menuntut keadilan di depan kantor bupati]
Secara keseluruhan, demo yang dilakukan oleh para tukang parkir di Pati tidak hanya sekadar tuntutan ekonomi, tetapi juga cerminan dari konflik antara hukum dan keadilan sosial. Mereka ingin diakui sebagai bagian dari masyarakat yang berhak mendapatkan perlindungan dan penghargaan. Dengan demikian, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah yang lebih proaktif untuk menyelesaikan masalah ini, baik melalui regulasi yang lebih jelas maupun program pembinaan yang bisa memberdayakan mereka.
