Pemerintah Kota Semarang kembali memicu perhatian publik dengan proses seleksi calon direksi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengelola layanan air minum di kota tersebut. Proses ini tidak hanya menjadi momen penting bagi pemerintah daerah, tetapi juga menjadi sorotan masyarakat terkait transparansi dan keadilan dalam pemilihan jajaran kepemimpinan BUMD.
Pengumuman resmi dari Panitia Seleksi Calon Direksi BUMD Kota Semarang Tahun 2025 menunjukkan bahwa sejumlah nama telah lolos seleksi administrasi dan akan mengikuti tahap ujian seleksi berikutnya. Ujian ini mencakup psikotes, ujian tertulis keahlian, penulisan makalah, penyusunan rencana bisnis, presentasi, serta wawancara. Proses ini dijadwalkan berlangsung pada 13 hingga 14 November 2025 di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.
Daftar nama yang lolos seleksi administrasi mencakup banyak tokoh yang memiliki latar belakang berbeda. Di antaranya adalah Andrias Warsito, Brahmono Weko Pujiono, dan Slamet Efendi untuk posisi Direktur Utama Perumda Air Minum Tirta Moedal. Sementara itu, Adhi Yunantono, Agung Anugrah, dan Darmanta tercatat sebagai calon Direktur Umum. Selain itu, ada juga nama-nama seperti Andreas Juianto dan Widyo Nurgroho yang bersaing untuk posisi Direktur Teknik.
Proses seleksi ini dilakukan sebagai bagian dari upaya pemerintah daerah untuk memastikan bahwa BUMD memiliki jajaran direksi yang profesional, berintegritas, dan mampu membawa inovasi di sektor pelayanan publik serta ekonomi daerah. Namun, di balik proses formal ini, terdapat isu-isu yang memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Beberapa waktu lalu, tiga direksi PDAM Tirta Moedal yang baru saja menjabat kurang dari setahun dipecat melalui Surat Keputusan Nomor 500/947-949 Tahun 2025 yang diterbitkan 9 Oktober lalu. Langkah ini menyasar Direktur Utama E Yudi Indardo, Direktur Umum Mohammad Indra Gunawan, dan Direktur Teknik Anom Guritno. Pemecatan ini diklaim sebagai bagian dari program pembenahan menyeluruh yang juga menyentuh dua BUMD lainnya, yakni Bhumi Pandanaran Sejahtera dan Semarang Zoo.
Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti menjelaskan bahwa tujuan utama dari pemberhentian ini adalah menciptakan manajemen yang lebih profesional dan agresif dalam berbisnis. Ia menekankan bahwa pemerintah daerah telah menyusun tim khusus untuk evaluasi dan integrasi agar keputusan serentak ini bisa memutus rantai kebiasaan manajemen lama, sehingga aset serta peluang emas ketiga BUMD itu bisa berkembang pesat tanpa hambatan.
Namun, tiga direksi PDAM yang dicopot memprotes keputusan tersebut. Melalui kuasa hukumnya, Muhtar Hadi Wibowo, para direksi ini menolak SK tersebut dan menyatakan bahwa ini adalah bentuk perbuatan melawan hukum (PMH). Menurut Muhtar, kebijakan itu sangat merugikan dan melanggar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ia menilai bahwa SK pemberhentian patut diduga merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan, karena SK para direksi baru akan berakhir tahun 2029, dan tidak ada alasan jelas terkait pemberhentian ini.
Muhtar juga menguraikan kejanggalan prosedural yang menurutnya tak lumrah dan berbau cacat moral. Mulai dari pemberitahuan mendadak melalui WhatsApp hanya satu jam sebelum acara penyerahan SK yang dibuat dan disebarkan di hari yang sama, hingga proses audit aneh yang mengandalkan data dari 2023 sampai September 2024. Ia menilai bahwa undangan acara itu tak ditembuskan ke Wali Kota sebagai pemegang saham mayoritas PDAM. Menurutnya, ini menunjukkan adanya abuse of power dari Ketua Dewan Pengawas dan anggotanya, yang berpotensi melanggar hak asasi manusia dan norma hukum administrasi.
Kisruh ini menunjukkan bahwa proses seleksi dan pemilihan direksi BUMD tidak hanya tentang kompetensi dan kualifikasi, tetapi juga melibatkan dinamika politik, hukum, dan kepentingan yang saling bertolak belakang. Di tengah proses seleksi yang sedang berlangsung, isu-isu seperti kecurangan, manipulasi, dan tekanan politik semakin menjadi bahan perdebatan.
Bagi masyarakat, proses ini menjadi indikator penting tentang bagaimana pemerintah daerah memperlakukan BUMD yang menjadi tulang punggung perekonomian dan pelayanan publik. Pertanyaan besar muncul: Apakah proses seleksi ini benar-benar objektif, atau justru menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan tertentu?
Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini juga menjadi cerminan dari tantangan yang dihadapi oleh BUMD di Indonesia secara umum. Banyak BUMD yang masih kesulitan dalam menghadapi persaingan pasar, efisiensi operasional, dan transparansi pengelolaan. Oleh karena itu, pemilihan direksi yang tepat menjadi kunci keberhasilan mereka.
Dari segi strategi, pemerintah daerah perlu memastikan bahwa proses seleksi direksi BUMD tidak hanya berbasis pada kriteria teknis, tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor seperti integritas, pengalaman, dan kemampuan kepemimpinan. Selain itu, partisipasi masyarakat dan transparansi dalam proses seleksi harus ditingkatkan untuk membangun kepercayaan publik.
