JURNAL SOREANG – Pemerintah Indonesia sedang menyusun strategi terpadu guna mendorong pengakuan aksara daerah sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) UNESCO.
Dalam kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Kebudayaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) memainkan peran penting dalam memperkuat dasar ilmiah, kebijakan, dan teknologi perlindungan aksara Nusantara mulai dari pemetaan melalui Peta Kebinekaan Bahasa, Sastra, dan Aksara hingga proses digitalisasi aksara dalam sistem global unicode.
Tindakan strategis ini tidak hanya menunjukkan komitmen Indonesia terhadap perlindungan warisan budaya, tetapi juga memperkuat posisi bahasa dan aksara Nusantara dalam dunia diplomasi budaya global.
Sebagai tindak lanjut dari langkah tersebut, Lembaga Bahasa menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) yang menghadirkan para ahli bahasa, penggiat aksara, akademisi, serta pihak terkait dari berbagai lembaga guna merancang langkah nyata dalam penyusunan usulan bersama ke UNESCO.
Kepala Badan Bahasa, Hafidz Muksin, menyatakan bahwa langkah-langkah pelestarian bahasa, sastra, dan aksara lokal merupakan komitmen dari Badan Bahasa sebagai bentuk nyata menjaga kekayaan budaya bangsa.
Pemetaan bahasa, sastra, dan aksara dilakukan guna memperoleh informasi yang tepat dan terbaru. Berdasarkan data tersebut akan digunakan sebagai dasar analisis dalam penyusunan kebijakan berikutnya.
“Ini adalah komitmen kami di Badan Bahasa dalam upaya melestarikan bahasa, sastra, dan aksara daerah, serta hasilnya akan menjadi dasar perencanaan kebijakan berikutnya. Salah satu langkah yang telah dilakukan adalah memperkenalkan sastra dan aksara daerah melalui Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) di sekolah dasar dan menengah,” kata Kepala Badan Bahasa, Hafidz Muksin, dalam pernyataannya, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sejalan dengan Hafidz, Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Dora Amalia, menyatakan bahwa usulan aksara daerah untuk dimasukkan dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda UNESCO merupakan salah satu bentuk nyata dari pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Bahasa Kemendikdasmen dalam program perlindungan bahasa dan sastra daerah.
Oleh karena itu, Lembaga Bahasa memainkan peran yang sangat penting dalam usaha pengajuan ini bersama dengan Kementerian Budaya.
“Badan Bahasa telah mengambil berbagai tindakan perlindungan terhadap bahasa dan sastra daerah, meskipun tidak semua langkah tersebut berkaitan langsung dengan proses pengajuan ke UNESCO. Tentu saja hal ini menjadi prioritas utama kami, khususnya pada tahun ini dengan dimulainya proyek besar yang diberi nama Peta Kebhinekaan, yang terdiri dari tiga peta utama: Peta Bahasa, Peta Sastra, dan Peta Aksara yang akan dijadikan digital,” ujar Dora.
Dora berharap dengan pengintegrasian ke dalam Unicode, aksara Nusantara tidak hanya tetap terjaga dalam ruang budaya, tetapi juga bisa hidup dan digunakan dalam lingkungan digital global.
Tindakan ini merupakan bagian dari rencana jangka panjang Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dalam memperkuat diplomasi budaya, literasi digital, serta identitas nasional melalui pelestarian bahasa, sastra, dan aksara lokal.
Sejalan dengan hal tersebut, pentingnya proses digitalisasi aksara melalui Unicode juga mendapat perhatian dari, Direktur Eksekutif Yayasan Budaya Nusantara Digital, Heru Nugroho.
Menurutnya, penggunaan aksara dalam bentuk digital akan tetap berlangsung dan tidak akan punah. Saat ini, tercatat bahwa hanya sembilan aksara Nusantara yang telah terdaftar dalam Unicode, termasuk Pegon dan Kawi. Di masa depan, Heru berharap lebih banyak aksara daerah dapat tetap bertahan di dunia digital.
Lebih lanjut, ia menjelaskan strategi pengajuan praktik menulis aksara tradisional Nusantara ke UNESCO yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa negara, termasuk Suriname, dengan potensi partisipasi Malaysia dan Filipina. ***



















