Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Prabowo Subianto masih belum berencana tergesa-gesa menetapkan status bencana nasional terhadap banjir yang tengah melanda Sumatera, khususnya di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hal ini menanggapi usulan dari Anggota DPR RI dari Dapil Aceh, M. Nasir Djamil, yang berharap agar Prabowo segera menetapkan status bencana nasional.
Prabowo mengatakan bahwa hingga saat ini pemerintah masih terus memantau dan mengevaluasi perkembangan bencana di tiga wilayah tersebut, sambil terus memberikan bantuan. “Ya terus kita monitor, kita kirim bantuan terus, nanti kita menilai kondisinya nanti ya,” kata Prabowo seusai menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2025, di Gedung Grha Bhasvara Icchana, Kompleks Kantor Pusat Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (28/11/2025).
Sebagai informasi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melakukan pembaruan terkini terkait korban jiwa akibat bencana hidrometeorologi berupa banjir dan longsor yang menimpa Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar). Kepala BNPB Letjen TNI Dr. Suharyanto mengatakan per hari ini, Jumat (28/11/2025), Aceh, Sumut, dan Sumbar berada dalam kondisi cerah alias tidak ada hujan. Hal ini sesuai dengan prediksi BMKG yang menyebut Siklon Tropis Senyar sudah bergerak ke arah Malaysia. Selain itu, pemerintah juga melakukan modifikasi cuaca.
Masing-masing disalurkan 1 pesawat modifikasi cuaca di Sumut, 1 pesawat di Aceh, dan 1 pesawat di Sumbar. Ada juga 1 pesawat cadangan yang akan dikerahkan jika dibutuhkan. Data terkini dari BNPB juga menunjukkan akibat bencana banjir itu, di wilayah Sumut ada 116 korban meninggal dan 42 orang masih dalam pencarian per sore ini. Sementara itu, lebih dari 1.000 KK melakukan pengungsian.
Tapanuli Tengah merupakan wilayah yang paling terdampak. “Praktis tidak ada sinyal komunikasi saat masuk ke wilayah Tapanuli Tengah,” kata Suharyanto. Namun, BNPB sudah menyalurkan bantuan berupa paket Starlink, sehingga jalur komunikasi berangsur membaik. Selain itu juga ada bantuan logistik lainnya berupa makanan siap saji, kapal karet, dan peralatan pengungsian lainnya. Selanjutnya, untuk menormalisasi jalur-jalur terputus, sudah diperkuat dengan alutsista dan alat-alat berat.
“Untuk transportasi udara, BNPB menyediakan 2 unit helikopter dan 1 unit pesawat karavan, di luar pesawat yang digunakan untuk modifikasi cuaca. Semoga pesawat ini bisa membantu proses evakuasi dan logistik,” kata Suharyanto.
Selanjutnya, untuk Aceh, ada 35 korban meninggal, 25 hilang, 8 luka-luka. Pengungsi di seluruh Aceh ada 4.846 KK. BNPB mengatakan masih banyak wilayah yang belum bisa diakses, sehingga data ini akan terus diperbarui. Masih dilakukan perbaikan di Aceh. Antara lain batas wilayah Sumut-Aceh, masih ada beberapa terputus. Kemudian Banda Aceh, Lhoksumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, masih terputus untuk jalur darat. Kemudian untuk Kab Gayo Lues, jalur darat masih terganggu, putus di 4 titik,” Suharyanto menjelaskan.
Akses komunikasi juga sudah dialirkan Starlink, sehingga komunikasi dengan alat darurat ini relatif lebih lancar dibandingkan sebelumnya. Bantuan logistik lainnya berupa makanan siap saji, selimut, dll juga disalurkan ke Aceh. “Ini merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat yang terkena bencana,” ujarnya.
Terakhir di Sumbar, pola penanganannya juga sama dengan Sumut dan Aceh. Pertama, fokus pada evakuasi, lalu penyaluran bantuan logistik, serta mencoba memulihkan jalan-jalan yang terputus. Korban jiwa ada 23 meninggal dunia, 12 hilang, dan 4 luka-luka. Suharyanto mengatakan Sumbar relatif lebih ringan jika dibandingkan dengan Sumut dan Aceh. Pengungsi di Sumbar terdapat 3.900 KK. Paling parah di Sumbar di Padang Pariaman, Solok, Padang, Tanah Datar.
Indonesia tercatat beberapa kali mengalami bencana besar yang berstatus bencana nasional, meskipun jumlahnya tidak banyak. Bencana ini memberikan dampak yang meluas, korban jiwa besar, serta kebutuhan penanganan berskala nasional.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto menyebut hanya ada dua bencana yang pernah ditetapkan sebagai bencana nasional, yaitu tsunami Aceh 2004 dan pandemi Covid-19. “Yang pernah ditetapkan Indonesia sebagai bencana nasional itu hanya Covid-19 dan tsunami Aceh 2004. Sementara bencana besar lain seperti gempa Palu, NTB, dan Cianjur pun tidak ditetapkan sebagai bencana nasional,” ujar Suharyanto dalam konferensi pers, Jumat (28/11/2025).
Meski begitu, dalam catatan lainnya menyebut gempa dan tsunami Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1992 juga termasuk bencana nasional. Daftar 3 Bencana Nasional di Indonesia:
-
Bencana gempa dan tsunami Flores terjadi pada 12 Desember 1992. Gempa berkekuatan sekitar 7,8 magnitudo mengguncang wilayah Pulau Flores, NTT, dan memicu tsunami besar yang menghantam kawasan pesisir utara. Sejumlah daerah terdampak parah, antara lain Maumere, Pulau Babi, dan wilayah pesisir Flores Timur. Gelombang tsunami dilaporkan mencapai ketinggian lebih dari 20 meter di beberapa titik.
-
Gempa dan tsunami Aceh tahun 2022 merupakan bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia. Gempa berkekuatan 9,1–9,3 magnitudo terjadi pada 26 Desember 2004 di lepas pantai barat Aceh, lalu memicu tsunami raksasa yang juga melanda negara-negara di kawasan Samudra Hindia. Di Indonesia, wilayah paling terdampak adalah Aceh dan sebagian Sumatera Utara. Data resmi mencatat:
Lebih dari 170.000 orang meninggal dunia
Ratusan ribu warga kehilangan tempat tinggal
Kerusakan masif pada permukiman, jalan, pelabuhan, dan fasilitas publik
- Pandemi Covid-19. Kasus Covid-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020 dan menyebar di seluruh provinsi.
Pandemi ini menjadi bencana nasional karena dampaknya sangat luas dan memerlukan penanganan lintas sektor. Status bencana nasional diberikan oleh pemerintah untuk memastikan ketersediaan sumber daya, koordinasi nasional, dan bantuan internasional.
Penanganan bencana nasional melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, daerah, lembaga penanggulangan bencana, organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat. Proses penanganan biasanya dimulai dari pencegahan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi. Setiap tahap memerlukan koordinasi yang baik, alokasi sumber daya yang efektif, serta partisipasi aktif masyarakat.



