Pemerintah Diminta Turun Tangan Atasi 3 Masalah Kritis Bencana Banjir dan Longsor

Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dalam beberapa hari terakhir telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah. Data terkini dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada hari Minggu (30/11/2025) pukul 21.30 WIB menunjukkan bahwa sebanyak 442 orang meninggal, 646 luka-luka, dan 402 orang masih hilang. Bencana ini juga memaksa setidaknya 290.000 jiwa untuk mengungsi serta merusak 2.800 rumah di 46 kabupaten/kota.

Kondisi darurat ini semakin jelas setelah tiga Bupati di Aceh—Bupati Aceh Selatan, Aceh Tengah, dan Pidie Jaya—mengirimkan surat resmi yang menyatakan penyerahan pengelolaan bencana kepada Pemerintah Aceh, yang secara tidak langsung menunjukkan adanya keterbatasan serupa di tingkat provinsi.

Langkah ketiga bupati ini—yang tampaknya dianggap sebagai “menyerah”—didasarkan pada fakta lapangan yang tidak bisa disangkal. Bupati Aceh Selatan, Mirwan, dalam suratnya bernomor 360/1975/2025 menyatakan bahwa tingkat kerusakan di 11 kecamatan, mulai dari terputusnya akses transportasi, gangguan aktivitas ekonomi, hingga rusaknya infrastruktur publik (jalan, jembatan, fasilitas pendidikan), telah melebihi kemampuan keuangan dan sumber daya manusia (SDM) Pemkab.

Senada, Bupati Aceh Tengah, Haili Yoga, dan Bupati Pidie Jaya, Sibral Malasyi, juga menekankan keterbatasan anggaran dan peralatan yang memadai sebagai alasan utama ketidakmampuan mereka dalam menjalankan penanganan darurat secara maksimal. Mereka berpendapat bahwa hanya intervensi langsung dari tingkat yang lebih tinggi—Pemprov Aceh atau Pemerintah Pusat—yang mampu menangani situasi darurat ini secara cepat dan terarah.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian merespons surat resmi dari tiga bupati tersebut dengan sikap yang menerima. Mendagri Tito menegaskan bahwa pemerintah pusat tidak menganggap serius atau marah terhadap pernyataan ketidaksanggupan tersebut.

“Jika mereka kemudian mengatakan tidak mampu, itu wajar, kami tidak marah karena kami memahami kondisi dan situasinya,” kata Tito.

Menghadapi krisis ini serta tantangan yang dihadapi anggotanya, Ketua Umum Apkasi, Bursah Zarnubi, yang juga menjabat sebagai Bupati Lahat, segera memberikan tanggapan tajam serta menawarkan solusi nyata.

Bursah sangat memahami situasi yang dialami tiga Pemkab di Aceh tersebut. Menurutnya, keterbatasan tersebut berasal dari dua faktor: keterbatasan infrastruktur/alat berat serta tekanan keuangan daerah yang semakin berat seiring pengalihan dana ke program strategis nasional pada tahun 2025.

Dalam konteks ini, Apkasi secara khusus meminta Presiden dan Menteri Dalam Negeri untuk segera melakukan intervensi dengan menitikberatkan pada tiga hal penting. Pertama, infrastruktur dan alat-alat berat perlu segera datang untuk membuka akses ke daerah yang terisolasi. Kedua, perbaikan segera harus dilakukan terhadap rumah-rumah warga yang mengalami kerusakan parah. Ketiga, dan yang paling utama, solusi cepat harus segera dicari untuk kebutuhan sandang dan pangan para korban karena, seperti yang ditegaskan Bursah, masalah lapar tidak bisa ditunda.

“Sekecil apa pun bantuan yang diberikan akan sangat berharga bagi para korban. Insyaallah, kita berdoa dan berupaya secara bertahap mengurangi beban para korban yang terdampak bencana. Apkasi juga meminta pemerintah pusat segera melakukan intervensi atau tindakan afirmatif dalam menangani bencana ini agar dapat segera ditangani dalam masa tanggap darurat,” tegas Bursah Zarnubi.

Tindakan Apkasi menunjukkan bahwa dalam situasi krisis dan keterbatasan anggaran daerah, asosiasi ini tidak hanya berfungsi sebagai wadah komunikasi, tetapi juga sebagai penggerak utama solidaritas serta suara utama untuk mempercepat intervensi pemerintah pusat, sehingga penanganan darurat bencana dapat dilakukan secara efektif dan menyeluruh.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *