Jika Ingin Sukses Anak, Ini 7 Hal yang Harus Dijaga

Kesuksesan bukanlah sesuatu yang bisa diraih hanya dengan sekali memperolehnya. Ini adalah hasil dari kebiasaan sehari-hari yang dilakukan dengan rasa ingin tahu, keberanian, dan kepedulian. Kebiasaan-kebiasaan ini terbentuk tanpa suara keras, tetapi secara perlahan membentuk cara anak melihat tantangan, perhatian, dan kepercayaan diri.

Jika Anda ingin anak Anda memiliki kepercayaan diri, pantang menyerah, baik hati, dan harga diri, maka beberapa kebiasaan mungkin perlu diubah. Berikut adalah tujuh kebiasaan yang perlu ditinggalkan untuk memberi ruang bagi anak Anda bergerak maju:

1. Berlatih Pada Setiap Tantangan

Membantu anak terlalu cepat bisa terdengar penuh kasih, tetapi juga mengajarkan ketidakberdayaan. Jika kita terburu-buru dalam membantu, kita memberi pesan bahwa anak tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri.

Biarkan mereka mencoba menyelesaikan hal-hal kecil seperti mengikat tali sepatu, memahami instruksi mainan, atau menulis email pertama kepada guru. Anda tetap bisa menjadi pendamping, tetapi berikan petunjuk setelah mereka mencoba.

Jika mereka merasa frustrasi, tanyakan: “Aku lihat tanganmu mulai lelah. Mau istirahat sebentar atau ganti strategi?” Dengan demikian, mereka belajar untuk menghadapi tantangan tanpa selalu bergantung pada bantuan orang lain.

2. Hentikan untuk Melihat Nilai

Anak-anak cenderung mengingat apa yang sering mereka dengar. Bila mereka terus-menerus mendengar “kamu pintar” atau “kamu berbakat”, mereka akan fokus pada kemenangan mudah. Bahkan jika nilai turun, identitas mereka bisa merasa terancam.

Alih-alih memberi label positif, lebih baik memuji proses, strategi, dan kesabaran mereka. Contoh: “Saya perhatikan kamu membaca ulang instruksi dan membuat diagram kecil. Itu sangat bijaksana.”

Jangan hanya menilai hasil, tetapi tunjukkan bagaimana mereka mencapainya. Hindari memberi label karena label bisa membatasi mereka pada satu cerita saja.

3. Berhenti Memainkan Emosi Mereka

Perasaan adalah sinyal, bukan kesalahan. Saat anak sedih, marah, atau takut, terlalu cepat memperbaikinya justru mengajarkan mereka untuk tidak percaya pada perasaan mereka sendiri.

Setiap kali Anda mengajarkan meditasi, ingatkan bahwa perhatian adalah otot yang perlu dilatih. Anak-anak belajar keterampilan ini saat Anda duduk bersama mereka, bukan saat Anda terburu-buru melewati mereka.

Jika emosi besar membuat Anda takut, buat rencana sederhana seperti sudut tenang, ritual minum air, atau tiga tarikan napas sebelum mengambil keputusan. Ini memberi rasa aman dan membantu mereka belajar mengelola emosi.

4. Ciptakan Ruang Sosialisasi

Banyak keluarga terlalu sibuk dengan sekolah, kegiatan, dan pekerjaan rumah. Gerakan yang konstan menjauhkan kecemasan, tetapi juga menghalangi refleksi dan kreativitas.

Dalam estetika Jepang ada konsep “ma”, yaitu ruang kosong yang memberi bentuk pada hal-hal di sekitarnya. Anak-anak juga butuh “ma”. Kebosanan bisa menjadi pintu gerbang untuk kreativitas.

Tambahkan waktu luang yang tidak terstruktur, seperti jalan-jalan keluarga tanpa tujuan, atau waktu tenang dengan buku bukan perangkat elektronik. Anak-anak perlu belajar untuk menyendiri dan menemukan diri mereka sendiri.

5. Berhenti Ketika Mereka Ingin Sendiri

Kebiasaan ini sering muncul dari cinta dan efisiensi. Kita memesankan makanan untuk mereka, menjelaskan pilihan mereka kepada orang dewasa, atau meredakan momen canggung.

Namun, biayanya adalah kepercayaan. Ajak anak untuk menyuarakan kebutuhan mereka dalam situasi yang tidak terlalu berisiko, seperti memesan makanan atau bertanya di kelas. Jika mereka membeku, modelkan kata-kata lalu biarkan mereka mencoba lagi.

Latihan kecil-kecilan membangun otot sosial. Dalam penelitian komunikasi, keagenan berkembang melalui praktik. Hargai kecepatan mereka, tetapi jangan curi suara mereka.

6. Berikan Pujian

Cara kerja koneksi adalah dengan menciptakan zona teknologi aktif dan nonaktif. Misalnya, ponsel diisi dayanya di dapur, bukan di kamar tidur. Makan malam bebas layar, perjalanan mobil dengan musik atau podcast, lalu percakapan.

Ganti “Uh-huh” dengan mendengarkan secara reflektif. Contoh: “Tunggu, aku ingin mendengar ini. Kamu bilang pelatih mengganti tim dan kamu akhirnya menjadi penjaga gawang. Bagaimana rasanya?”

Ketika anak merasa benar-benar diperhatikan, mereka akan membuka dunia nyata mereka. Ini sangat berharga. Saya menjaga perhatian saya tetap jujur dengan ritual kecil, seperti mendengarkan dengan penuh perhatian.

7. Berhenti Membuat Konflik

Rumah tangga yang tidak pernah bertengkar bisa terasa kasar dan rapuh. Anak-anak kehilangan kesempatan untuk belajar cara menghadapi konflik yang sehat.

Contohkan konflik yang bersih dengan menggunakan bahasa sederhana: “Waktu kamu meninggalkan piringmu, aku merasa stres karena aku mengandalkan bantuanmu. Lain kali, tolong bersihkan piringmu sebelum mengerjakan PR.”

Tidak ada serangan karakter; hanya perilaku, dampak, dan permintaan. Perbaikan mengajarkan kerendahan hati, tanggung jawab, dan harapan.

Pos terkait