Luka yang Menghiasi Alam Baqa bernama Mendua

Kehidupan yang Penuh Keteguhan dan Kesetiaan



Makassar masih gelap gulita dan diselimuti embun ketika kami semua berdiri di sekeliling jasad Emma. Sesudah itu, ketika kami sibuk menyiapkan berbagai hal, Bapak tidur berbaring di sisi jenazah Emma. Terisak tak henti-henti.

“Aku mencintaimu, Athirah…. Maafkan aku. Kau bawa sakit hatimu hingga mati. Maafkan aku…”

Aku membaca penyesalan yang hebat dalam isak tangis Bapak.

Novel Athirah, ditulis oleh Alberthiene Endah, mengisahkan kisah nyata tentang keteguhan dan kesetiaan seorang perempuan. Meski hatinya telah disakiti, namun tidak sedikitpun menggoyahkan kesetian itu. Kesetiaan yang terkoyak, tetapi dihadapi dengan sangat elegan. Perempuan bernama Athirah, tetap menjalankan kewajiban layaknya istri dan ibu. Yaitu berbakti kepada suaminya, membersamai tumbuh kembang anak-anak. Meski hatinya bak disayat sembilu, diri sendiri tidak lagi dipedulikan. Berusaha bangkit berdiri, bahkan mengulurkan tangan saat suami terjatuh.

Judul Athirah pada novel tersebut, diambil dari nama ibunda dari Jusuf Kalla. Pengusaha sukses, politisi berpengaruh, tokoh nasional, yang tidak diragukan kapabilitasnya. Beliau satu-satunya orang, sampai saat ini, yang pernah dua kali menjabat sebagai Wakil Presiden di Republik ini.

Bapak Jusuf Kalla dengan perjalanan hidupnya, pahit getir dan asin manis, sekaligus pencapaian gemilang diraihnya. Tidak bisa dilepaskan, dari pengaruh ayah dan ibu yang biasa dipanggil Emma. Ayahnya bernama Pak Haji Kalla, pengusaha ulet, tangguh, terkenal seantero Makassar. Kesibukannya yang padat, tetap menjaga ibadahnya dengan rajin.

Suatu hari Pak Kalla pamit, hendak ke luar kota untuk urusan bisnis. Padahal di hari dan tanggal kepergian itu, ada undangan pernikahan yang harus dihadiri. Maka untuk tetap menjaga kepantasan, Athirah sang istri berniat datang ke kondangan. Jusuf diajak serta menaiki becak, demi mendatangi hajatan orang yang telah dikenal dengan baik. Namun sesampai di tujuan, ada kenyataan yang menampar dengan hebatnya. Dari kejauhan terlihat, Pak Kalla datang dengan perempuan lain, yang ternyata istri mudanya.

Athirah dengan sangat elegan bersikap, sama sekali tidak menghakimi sang suami. Sampai suatu waktu, Pak Kalla mengakui dan berjanji berlaku adil. Seadil-adilnya lelaki, tetap saja rasa cemburu tak bisa dipupus. Kemudian Athirah menyibukkan diri berjualan, demi mengalihkan kepedihan kesedihan. Karena ketelatenan, jualan kain berkembang dengan baiknya. Pelanggannya orang-orang ternama, bahkan ada artis Jakarta sebagai pelanggan setia.

Kesibukan itu sangatlah manjur, sebagai pelipur pengusir pedih karena diduakan. Dari berjualan kain juga, Athirah bisa menyimpan uang dalam bentuk emas. Suatu waktu keadaan berbalik, bisnis Pak Kalla jatuh dan merugi. Athirah dengan kebesaran hati, menyerahkan simpanan emas untuk suami. Ya, suami yang telah menduakannya. Luka karena pengkhianatan itu, dibalas dengan sedemikian elegannya.

Pada umur 55 tahun Athirah berpulang, Pak Haji Kalla sedih sesedih sedihnya. Pembalasan cukup berkelas dari Athirah, justru membuat sang suami kalah telak.

“Aku mencintaimu, Athirah…. Maafkan aku. Kau bawa sakit hatimu hingga mati. Maafkan aku…”

Perjalanan Hidup yang Penuh Makna

Bapak larut dalam duka yang dalam. Sangat dalam. Orang-orang mengatakan cahaya di wajah Pak Haji Kalla telah hilang. Jiwa Pak Haji Kalla telah mati. Ia tidak pernah lagi tersenyum, apalagi tertawa. Bapak berkabung tanpa pernah berjeda. Suram wajahnya tak bisa lagi disibak. Ia sholat mengaji dalam tangis. Ia sulit bicara. Matanya terus menerus nanar dan menerawang.

“Athirah aku mencintaimu”

Pada April 1982, hanya tiga bulan setelah Emma wafat, seorang kerabat kami berlari panik di halaman, rumahku.

“Jusuf, Jusuf! Bapak wafat. Bapak wafat….”

Cuplikan dari Noval Athirah

Luka yang Dibawa ke Alam Baqa itu Bernama Mendua

Saya masih sangat ingat, wejangan almarhumah ibu mertua, beberapa saat setelah saya nembung—meminta anak gadisnya. Bahwa ada kesalahan laki-laki, yang tidak bakalan dilupakan oleh perempuan. Adalah diduakan, sebagai kesalahan yang akan diingat sepanjang hidup. Kesalahan yang tidak bisa ditawarkan, oleh apapun atau siapapun.

Kalau ujian kekurangan ekonomi, bisalah berdua diusahakan. Ujian tak punya rumah, dijauhi saudara atau kerabat, sangat bisa suami istri menghadapi bersama. Tetapi kalau hati yang medua, susahlah kemana dicari obatnya. Masih menurut almh ibu mertua, bahwa laki-laki yang setia adalah laki-laki mahal. Laki-laki yang bisa diandalkan, dan sangat pantas dipertahankan.

Oke, beristri lebih dari satu tidaklah dilarang agama. Namun perlu disadari, ada syarat musti dipenuhi oleh pelakunya. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya, kalau tidak sanggup dua tiga lebih baik beristri satu.

Membaca lembar per lembar novel Athirah, saya merasakan keanggunan jiwa perempuan. Perlawanan Athirah tidak dengan marah meledak-ledak, tapi dengan bertumbuh dan berdaya. Ketika sang suami usahanya terpuruk, tidak dibalas dengan sorak sorai penuh kemenangan. Tetapi ditopang lelaki malang itu, hingga bangkit dan dikembalikan wibawanya. Meski tak dipungkiri, luka sembilu tak bakal terhapuskan.

Athirah berpulang, dengan meninggalkan selaksa kenangan bagi Jusuf Kalla. Tentang kesetiaan yang teguh, pengorbanan tak berbalas, serta kebesaran budi pekerti. Menyampaikan pesan pada pembaca novelnya, bahwa luka yang dibawa ke alam baqa itu bernama medua. Semoga bermanfaat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *