Evaluasi Mendalam Tata Kelola Lingkungan Pasca-Banjir Bandang di Sumatera
Banjir bandang yang terjadi di beberapa wilayah di Sumatera, termasuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, menjadi peringatan keras bagi pemerintah dan masyarakat. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Syamsurijal Adhan, menilai bahwa kejadian ini harus menjadi momentum evaluasi mendalam terhadap tata kelola lingkungan. Ia menekankan bahwa iklim bukanlah penyebab utama bencana tersebut, melainkan hanya sebagai pemicu dari kesalahan kebijakan yang telah diambil dalam pengelolaan sumber daya alam.
Peran Iklim dan Kebijakan yang Salah
Syamsurijal menjelaskan bahwa meskipun iklim sering kali disalahkan atas bencana yang terjadi di Indonesia, sebenarnya akar masalah berada pada kebijakan yang tidak tepat. Hal ini mencakup alih fungsi lahan, pertambangan, dan pengelolaan hutan tanaman industri. Ia menilai bahwa kebijakan-kebijakan ini telah merusak ekosistem alami yang selama ini menjadi penyangga lingkungan.
“Kita perlu melakukan evaluasi radikal terhadap tata kelola lingkungan agar cara pandang kebijakan kita bisa berubah,” ujar Syamsurijal. Ia juga menyoroti pentingnya mengubah orientasi keilmuan untuk lebih memperhatikan aspek ekologis dan sosial.
Peran Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Hutan
Masyarakat lokal, kata Syamsurijal, memiliki peran penting dalam menjaga hutan secara turun temurun. Namun, mereka sering kali disalahkan akibat kebijakan yang keliru. “Masyarakat lokal bisa menjaga lingkungan tempat mereka tinggal. Sayangnya, dengan kebijakan yang salah, mereka malah dianggap sebagai perusak hutan karena berpindah-pindah tempat tinggal,” jelasnya.
Ia memberikan contoh kebijakan hutan tanaman industri yang dianggap merusak hutan primer. Meskipun tujuannya adalah meningkatkan daya serap karbon, namun fungsi hutan primer dan hutan tanaman industri sangat berbeda. Oleh karena itu, Syamsurijal menyarankan pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap izin hutan dan tambang, bahkan jika diperlukan dilakukan moratorium.
Pernyataan Cak Imin tentang “Taubat Nasuha”
Pernyataan Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengenai “taubat nasuha” atas banjir di sejumlah wilayah di Sumatera mendapat dukungan dari Syamsurijal. Ia menilai bahwa penanganan banjir Sumatera butuh evaluasi besar-besaran, evaluasi mendasar, dan evaluasi radikal.
“Taubat struktural yang saya maksud adalah taubat dengan sungguh-sungguh dalam membuat kebijakan, taubat cara pandang dalam membuat kebijakan, serta taubat ekologi,” ujarnya.
Analisis dari Pakar Hukum Agraria
Sementara itu, pakar hukum agraria, Syaiful Bahari, menilai bahwa perlu ada evaluasi radikal terhadap kebijakan pengelolaan hutan, pemberian izin tambang, pinjam pakai penggunaan lahan, dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Ia sepakat dengan pernyataan Cak Imin bahwa semua pihak harus bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Menurut Syaiful, banjir Sumatera disebabkan oleh dua hal utama. Pertama, pulau Sumatera memiliki populasi yang tinggi, sedangkan daya dukung ekologi terbatas. Kedua, perkembangan usaha ekstraktif yang masif, seperti pertambangan, kehutanan, pertanian, perikanan, dan peternakan. Kegiatan ini melibatkan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang berdampak signifikan terhadap lingkungan.
Langkah yang Harus Dilakukan
Syaiful menekankan bahwa usaha ekstraktif tidak dilihat sebagai ancaman oleh negara, padahal dampaknya sudah terjadi sangat lama. “Lahan usaha ekstraktif sebagian besar tidak diperuntukan untuk rakyat. Dari puluhan juta hektare yang tersedia, hanya segelintir yang berada di tangan rakyat. Inilah penyebab konflik horizontal dan konflik vertikal,” katanya.
Sebelumnya, Cak Imin mengirim surat kepada Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, dan Menteri Lingkungan Hidup untuk bersama-sama melakukan evaluasi total terhadap kebijakan, policy, dan langkah-langkah yang diambil. Ia juga menyampaikan pesan tentang “taubat nasuha” sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam menghadapi bencana yang terus berulang.
Cak Imin juga menyentil soal kiamat akibat kelalaian manusia sendiri. “Kiamat bukan sudah dekat, kiamat sudah terjadi akibat kelalaian kita sendiri,” ujarnya.
Dengan demikian, evaluasi mendalam terhadap tata kelola lingkungan menjadi sangat penting untuk mencegah bencana serupa terulang. Perlu adanya perubahan drastis dalam kebijakan, partisipasi masyarakat lokal, dan kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem alami.



















