Bencana Ekologis Mengancam Nusa Indah di Utara Jakarta



Jakarta tidak hanya terdiri dari kawasan SCBD yang penuh gedung-gedung tinggi atau Blok M yang menjadi pusat hiburan muda. Di balik itu, Jakarta juga memiliki gugusan pulau-pulau indah di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Salah satu pulau tersebut adalah Pulau Pari, yang menawarkan keindahan alam dan ekosistem laut yang unik.

Pulau Pari memiliki bentuk yang menyerupai ikan pari ketika dilihat dari citra satelit. Secara topografi, pulau ini merupakan pulau karang timbul dengan ketinggian 0-3 meter di atas permukaan laut (mdpl). Ekosistemnya sangat lengkap, termasuk pantai pasir putih, hutan bakau, padang lamun, dan terumbu karang yang menjadi habitat berbagai jenis flora dan fauna laut. Keindahan alam ini menjadikan Pulau Pari sebagai destinasi wisata favorit.

Namun, di balik keindahan alam, Pulau Pari menghadapi tantangan serius dalam bentuk bencana ekologis. Bencana ekologis bisa terjadi akibat perubahan tatanan ekologi yang dipengaruhi oleh faktor manusia, makluk hidup, dan kondisi alam. Pulau Pari rentan terhadap berbagai ancaman seperti kenaikan permukaan air laut, intrusi air laut, abrasi, reklamasi, kerusakan terumbu karang, pencemaran limbah dan sampah, serta cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.

Selain masalah lingkungan, Pulau Pari juga menghadapi konflik agraria karena minat investor pariwisata besar. Sebagian masyarakat memandang sektor wisata sebagai alternatif ekonomi yang bisa mendukung kehidupan sosial dan kelangsungan ekosistem. Namun, pengaruh investor bisa mengubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat setempat.

Masalah lain yang dihadapi Pulau Pari adalah pencemaran dari kiriman sampah Teluk Jakarta dan limbah minyak mentah. Selain itu, ada ancaman dari krisis iklim yang memperparah situasi di pulau ini. Warga Pulau Pari bahkan menggugat perusahaan multinasional PT. Holcim atas dampak krisis iklim yang mereka alami.

Saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) belum mencabut secara resmi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) di Pulau Pari. Meski aktivitas di lapangan telah dihentikan sementara, warga bersama koalisi NGO masih menuntut pencabutan izin secara permanen.

Kehadiran perusahaan swasta yang menguasai tanah dan perairan di sekitar Pulau Pari menyebabkan ketegangan sosial. Masyarakat terbelah antara kelompok yang menolak dan mendukung privatisasi pulau. Beberapa anggota masyarakat yang menolak privatisasi bahkan mengalami intimidasi dan kriminalisasi.

Dari Program Sarjana Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, kami melakukan kuliah lapangan bagi 60 mahasiswa peserta mata kuliah Jejaring dan Ruang Transnasional (JRT) di Pulau Pari pada 14-15 November 2025. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan data dan fakta di lapangan.

Hasil temuan dan solusi inovatif dari mahasiswa kemudian disampaikan kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta melalui audiensi pada 19 November 2025. Acara ini bertujuan memberikan masukan kepada pemerintah.

Akhirnya, diakhiri dengan pameran bertajuk “#SavePulauPari: Krisis Iklim, Perebutan Ruang Hidup, dan Daya Resiliensi Masyarakat Meraih Keadilan Sosial”, yang diadakan di kampus FISIP UI Depok, Jawa Barat pada 3-4 Desember 2025. Pameran ini bertujuan mensosialisasikan isu Pulau Pari kepada masyarakat luas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *