Di Tengah Digitalisasi, Jurang Pemisah Ilmuwan dan Masyarakat Kian Luas

Era Kehilangan Kepercayaan pada Pakar dan Keterlibatan Masyarakat

Di tengah derasnya digitalisasi, jurang antara ilmuwan dan masyarakat semakin lebar. Hoaks, pseudosain, seperti teori bumi datar, serta rendahnya kemampuan memilah fakta dan noise menjadikan manusia berada dalam krisis literasi sains. Untuk itulah, diperlukan transformasi pendidikan dari sudut pandang yang lebih mendasar, yakni bagaimana ilmu pengetahuan tidak berhenti di institusi pendidikan, khususnya perguruan tinggi.

Hidup dalam denyut nadi masyarakat yang hari ini tersambung kuat ke platform digital melalui telefon pintar. Direktur Jenderal (Dirjen) Sains dan Teknologi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) Prof Ahmad Najib Burhani mengungkapkan, saat ini manusia berada pada era yang disebut the death of expertise atau ketika masyarakat kehilangan kepercayaan pada pakar dan institusi ilmiah. Selain itu, ada pula fenomena weaponization of expertise atau ketika kepakaran digunakan untuk kepentingan yang tidak ilmiah.

“Ketika mendengar kata transformasi dalam pendidikan tinggi, biasanya yang terbayang adalah modernisasi ruang kuliah virtual, big data, kecerdasan buatan, dan infrastruktur super canggih. Semua itu penting, tetapi tidak cukup, bahkan menjadi kekhawatiran,” kata Najib, Kamis 4 Desember 2025.

Soalnya, teknologi boleh canggih, tetapi jika ilmu tidak bisa menjembatani kesenjangan itu, ia hanya akan menjadi kemewahan di menara gading. Hal itu disampaikan Najib dalam seminar dan Workshop Nasional Fuel Your Potential: Civitas Akademika sebagai Agen Komunikator Sains (Science Communicator) di Era Digital yang berlangsung di Sasana Budaya Ganesha, Jalan Tamansari, Kota Bandung.

Tiga Sekat yang Memisahkan Sains dan Masyarakat

Najib menyebutkan, ada tiga sekat yang memisahkan sains dan masyarakat. Pertama, sekat eksklusivitas, karena ilmu pengetahuan masih dianggap elitis. Banyak riset unggulan memenangkan penghargaan internasional, tetapi tidak dipahami dan tidak digunakan masyarakat. Bahkan, laboratorium kampus pun sering terpisah dari problem nyata.

Kedua, sekat komunikasi. Menurut Najib, di era banjir informasi, lebih dari 80% yang kita terima adalah sampah informasi. Ruang komunikasi sains yang kredibel masih kosong. Akibatnya hoaks kesehatan, pangan, dan lainnya menyebar lebih cepat daripada fakta ilmiah.

“Ketiga, sekat keterlibatan. Masyarakat masih diposisikan sebagai objek penerima manfaat. Padahal mereka memiliki kekayaan pengetahuan lokal. Misalnya, suku Baduy memiliki teknologi penyimpanan gabah yang tahan bertahun-tahun,” ungkap Najib.

Najib menegaskan, ilmu pengetahuan harus menjadi gerakan publik, mengalir keluar dari institusi pendidikan dan menjadi milik masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, ada beberapa upaya, yaitu membangun ekosistem partisipasi publik dalam sains, menghidupkan pengetahuan lokal sebagai bagian riset, dan memperkuat komunikasi sains.

“Transformasi pendidikan tinggi tidak hanya tentang mengejar kecanggihan teknologi. Akan tetapi, memastikan ilmu pengetahuan memberikan dampak nyata pada masyarakat dan mampu mengatasi kesenjangan literasi sains di tengah badai misinformasi,” ujar Najib.

Kolaborasi dengan Platform Digital

Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek Prof Yudi Darma mengatakan, di tengah derasnya arus informasi, ilmu pengetahuan membutuhkan rumah baru agar tetap didengar dan dicintai. Melalui kolaborasi antara Kemendiktisaintek dan platform digital, seperti Tiktok, sekat-sekat yang kaku antara dunia akademik dan media sosial itu mulai mencair.

Menurut Yudi, gawai bukan lagi sekadar sebagai alat komunikasi, tetapi juga ruang baru untuk berinteraksi antara pendidik dengan publik. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mendekatkan hasil riset sains dan teknologi ke masyarakat. Pasalnya, gagasan yang lahir dari forum ini akan menjadi fondasi penting untuk merumuskan strategi literasi digital yang lebih inklusif untuk masa mendatang.

“Literasi sains harus ditingkatkan, public understanding juga harus dikuatkan. Alhasil, ada engagement antara publik dengan ilmuwan. Tujuannya, ada feedback yang bisa memperkaya dan menguatkan karya-karya sains dan teknologi, khususnya di Indonesia,” ungkap Yudi.

Peran TikTok dalam Literasi Sains

Executive Director Tokopedia & Tiktok E-Commerce Indonesia Stephanie Susilo menjelaskan, konten pendidikan telah masuk dalam 5 kategori terpopuler di Tiktok Indonesia. Hingga saat ini, lebih dari 24 juta konten edukasi telah diunggah di Tiktok. Data tersebut menunjukkan besarnya minat dan antusiasme masyarakat terhadap pembelajaran yang relevan, inklusif, dan mudah diakses.

Untuk memperkuat literasi konten edukasi, Tiktok menghadirkan Feed STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). “Kehadiran Feed STEM tidak hanya memperkaya ekosistem pembelajaran digital. Akan tetapi, membekali generasi muda dengan dasar-dasar sains dan teknologi, memperkuat daya saing nasional, dan mendukung target pemerintah untuk mencetak 9 juta talenta digital pada 2030. Feed STEM otomatis aktif bagi pengguna di bawah 18 tahun, sehingga remaja dapat mengakses eksperimen sains, penjelasan teknologi, dan materi ilmiah yang relevan dan aman,” ujar Stephanie.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *