Elektrifikasi Kebun Naga dan Sawah: Dorong Transisi Energi, Kerja Petani Lebih Efisien

Perubahan Mendasar dalam Kehidupan Petani Berkat Listrik

Di Desa Tiga Pancur, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, langit sore terlihat mendung, seolah menahan hujan yang tak jadi turun. Udara lembap dan angin dingin yang bertiup dari lereng Gunung Sinabung perlahan menelusuri kebun-kebun warga. Di tengah barisan tanaman buah naga yang rapi, Terminal Sitepu (49) berjalan mendekati dinding rumahnya yang bersebelahan dengan kebun buah naga miliknya. Tangannya meraih saklar dan menekannya ke posisi bawah hingga terdengar suara “klik”.

Seketika, ratusan cahaya putih kekuningan memancar serentak. Lampu-lampu kecil yang bergantung di kabel pun menyala dan menerangi sekitar 500 pohon buah naga yang tumbuh di atas lahan seluas sekitar setengah hektare. Cahaya yang memantul di sekeliling batang berwarna hijau seolah memberi kesan bahwa kebun naga telah menjadi hamparan lentera yang begitu meneduhkan.

Terminal memandangi sejenak kebunnya. Ia memastikan tidak ada satu pun lampu yang tidak menyala. “Kalau ada lampu yang tidak menyala, pertumbuhan buahnya tidak maksimal,” katanya.

Berjarak ratusan kilometer dari Kabupaten Karo, tepatnya di Desa Dalu X, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deliserdang, matahari belum begitu terik ketika Budianto (65) menepuk-nepuk pompa air besar yang terpasang di dekat saluran irigasi, Rabu (3/12/2025) pagi. Kepada dua rekannya sesama petani, Budianto meminta agar aliran listrik dari rumah pompa irigasi dinyalakan. Tak lama kemudian, suara mesin berderu dan air pun mengalir deras ke saluran irigasi yang mengaliri sawah seluas sekitar 27 hektare milik 70 anggota Kelompok Tani Makmur II.

Dari cahaya lampu di hamparan kebun buah naga petani di Kabupaten Karo hingga deru pompa air yang mengalirkan air ke hamparan sawah di Kabupaten Deliserdang, terdapat satu benang merah yang menghubungkan keduanya: listrik telah mengubah cara kerja petani di Sumatra Utara. Melalui penerapan elektrifikasi pertanian (electrifying agriculture), para petani mampu memanfaatkan energi listrik dengan baik sehingga pekerjaan yang dilakukan lebih efisien dari sisi biaya operasional dan hasil panen.

Pemanfaatan Listrik untuk Pertumbuhan Buah Naga

Terminal menjelaskan, cahaya lampu dibutuhkan untuk membantu merangsang pertumbuhan bunga (calon buah) setelah satu tahun ditanam. Cahaya lampu ini menjadi pengganti sinar ultraviolet dari sinar matahari. Karena intensitas cahaya matahari di daerah pegunungan sangat terbatas karena sering turun hujan dan awan berkabut, maka digunakanlah cahaya lampu selama tujuh hingga 10 jam. Proses pembungaan ini berlangsung selama 30 hingga 45 hari. Lampu biasanya dinyalakan setiap hari mulai pukul 18.00 WIB hingga pukul 02.00 WIB keesokan harinya.

Ketika bunga sudah muncul, lampu tidak perlu dinyalakan lagi. Untuk menjadi buah yang siap dipanen, petani menunggu selama tiga hingga empat bulan. Sekitar satu hingga dua minggu setelah panen, pembungaan dapat dilakukan kembali dengan menyalakan lampu. Saat ini, Terminal memiliki satu hektare lahan di dua lokasi yang ditanami sekitar 1.500 pohon buah naga. Dari jumlah tersebut, sekitar 500 pohon diantaranya sedang dalam proses pembungaan buah.

Penerapan elektrifikasi pertanian, kata Terminal membuat para petani buah naga tak perlu menyalakan genset berbahan bakar minyak (BBM) untuk menyalakan lampu. Petani juga tak khawatir kalau mesin genset tiba-tiba mati karena kehabisan bahan bakar. “Dengan menggunakan listrik, pekerjaan petani kini lebih efisien. Kami cukup menyalakan satu stop kontak, maka ratusan lampu akan menyala sekaligus,” katanya.

Efisiensi Biaya Operasional

Dari sisi biaya operasional listrik, Terminal menyebut, ia merasakan efisiensi yang cukup besar. Untuk pemasangan lampu, Terminal merogoh kocek Rp 50 ribu per satu lampu, sudah termasuk instalasi dan pembelian lampu khusus dengan daya 9 watt. Untuk 500 pohon, Terminal mengeluarkan uang Rp 25 juta. Setelah lampu terpasang, Terminal cukup membeli token listrik untuk menghidupkan lampu. Hitungannya, satu lampu hanya membutuhkan biaya Rp 200. Jika lampu perlu menyala selama 30 hari untuk merangsang pembungaan, maka biaya listrik yang dibutuhkan 500 pohon mencapai Rp 3 juta setiap bulan atau Rp 100 ribu per hari.

“Biaya pembelian token tiga juta ini jauh lebih efisien dibandingkan harus membeli BBM untuk menyalakan genset. Tak cukup Rp 100 ribu untuk membeli BBM genset setiap hari. Memang biaya awal untuk membeli lampu dan instalasi cukup besar, tapi hanya sekali saja. Setelah itu, cukup beli token dan mengganti beberapa lampu yang rusak. Saya sendiri sudah lima tahun menerapkan listrik dan instalasinya belum berganti,” kata Terminal.

Elektrifikasi Pertanian di Sawah

Efisiensi yang sama juga dirasakan Budianto dan para petani di Kelompok Tani Makmur II. Sejak beralih menerapkan elektrifikasi pertanian pada Januari 2025 lalu, pompa air listrik mampu mengalirkan air ke saluran irigasi dengan lancar. “Kami dapat melakukan penanaman dan panen bulan Agustus lalu,” katanya.

Keberadaan pompa air listrik, kata Budianto, mampu mengefisienkan biaya rutin operasional pompa air hingga 60 persen dibandingkan jika menggunakan BBM. Saat masih menggunakan pompa air BBM, petani mengeluarkan biaya hingga Rp 20 juta untuk sekali musim tanam. Kini, dengan pompa air listrik, mereka cukup mengisi token sekitar Rp 6 juta untuk satu kali musim tanam di lahan 27 hektar. “Kami patungan Rp 50 ribu per keluarga. Kami mengisi token Rp 1 juta per dua minggu mulai dari musim tanam hingga panen. Efisiensi biayanya sangat terasa dibandingkan BBM,” katanya.

“Selain itu, debit air yang dihasilkan pompa air listrik jauh lebih besar dibanding pompa air BBM. Pekerjaan kami benar-benar semakin efisien. Air bisa dialirkan kapan saja, tenaga untuk mengangkat jerigen BBM tak diperlukan lagi, dan butuh waktu singkat untuk mengairi sawah seluas 27 hektare,” lanjutnya.

Peningkatan Hasil Panen

Selain efisiensi biaya operasional, elektrifikasi pertanian juga membuat hasil panen meningkat. Terminal menuturkan, jika tidak menggunakan lampu untuk merangsang pembungaan, buah naga hanya panen satu kali dalam satu tahun. Sedangkan jika menggunakan lampu, buah naga mampu panen tiga hingga empat kali satu tahun. Dari 500 pohon, mampu menghasilkan panen sekitar 4 ton atau 4 ribu kilogram buah naga. Dengan harga jual terendah Rp 8.000 per kilogram, Terminal mencatat pendapatan sekitar Rp 32 juta sekali panen.

“Agar kualitas panen baik, para petani biasanya memberi jeda. Panennya tiga kali dalam setahun. Harga Rp 8 ribu per kilo juga tidak tetap, kadang bisa di atas itu. Dengan elektrifikasi, panen naik tiga kali lipat dan pendapatan kami jauh lebih besar dibandingkan kalau tidak menerapkan elektrifikasi yang panennya hanya sekali setahun,” kata Terminal.

Dukungan PLN untuk Petani

Terminal dan Budianto mengatakan, lebih dari sekadar alat bantu kerja petani, elektrifikasi memberikan banyak manfaat kepada petani. Mulai dari penanaman yang lebih terencana, pengaturan waktu kerja yang lebih tepat, hingga peningkatan hasil panen tanpa harus menambah beban fisik. “Karena elektrifikasi ini bergantung kepada kesediaan listrik, kami berharap PLN dapat menyediakan arus yang stabil dan tidak sering padam,” kata Budianto.

Selain itu, kata keduanya, elektrifikasi yang mereka terapkan sebagai bagian untuk mendukung transisi energi untuk masa depan berkelanjutan dari bahan bakar fosil ke energi listrik yang lebih hijau. Petani berkomitmen mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang senantiasa menjadi komponen biaya yang cukup besar dan tidak terprediksi.

Adopsi Teknologi Modern

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo dalam keterangan persnya yang dikutip Tribun Medan.com, Rabu (3/12/2025) mengatakan, program elektrifikasi pertanian atau electrifying agriculture (EA) merupakan bagian dari strategi PLN dalam mendorong transisi energi yang berkelanjutan, sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat.

“PLN tidak hanya menghadirkan listrik sebagai kebutuhan dasar, tetapi juga sebagai penggerak produktivitas ekonomi rakyat. Melalui EA, kami membantu petani mengadopsi teknologi modern berbasis listrik yang efisien, ramah lingkungan, dan mampu meningkatkan nilai tambah hasil pertanian,” ujar Darmawan.

Dukungan PLN di Wilayah UP3 Bukit Barisan

Asisten Manajer Keuangan dan Umum PT PLN UP3 Bukit Barisan, Gilang Endra Basuki mengatakan, hingga tahun 2025, pihaknya telah merealisasikan sebanyak 1.057 pelanggan petani buah naga dalam program electrifying agriculture di Kabupaten Karo. Ribuan petani buah naga ini tersebar di enam kecamatan yakni: Simpang Empat, Payung, Namanteran, Tiganderket, Kutabuluh, Perbesi, dan Biak Nampe. Total daya tersambung sebanyak 3.247 MVA dengan rata-rata penjualan sebanyak 270.662 KWH per bulan.

“Sambutan petani buah naga di wilayah UP3 Bukit Barisan terhadap program elektrifikasi pertanian ini cukup baik. Hal ini terlihat pengajuan perubahan daya dan pasang baru dari petani yang terus tumbuh,” kata Gilang kepada https://soeara.com, Rabu (3/12/2025).

Sebagai wujud dukungan PLN di wilayah UP3 Bukit Barisan, kata Gilang, pihaknya berkomitmen untuk memudahkan akses petani untuk mendapatkan listrik. Pengajuan yang datang, sedapat mungkin segera diproses. Jika lokasi kebun dekat dengan jalur utama kelistrikan PLN, pemasangan listrik dilakukan dalam tiga hari. Jika cukup jauh dari jalur utama, butuh waktu antara tujuh hingga 10 hari.

Dukungan PLN di Wilayah UP3 Lubukpakam

Sedangkan Tim Leaders Sales and Retail PT PLN UP3 Lubukpakam, Prayugo Putra mengatakan, elektrifikasi pertanian yang diterapkan di wilayah kerja UP3 Lubukpakam, termasuk di Kelompok Tani Makmur II ada di sembilan titik. “Kami melayani untuk pengadaan pompa air listrik. Total dayanya sekitar 5.500 watt per dua pompa air. Jumlah daya ini sudah cukup membantu untuk menggerakkan pompa air dan potensi terjadinya air gagal naik untuk mengairi sawah juga kecil,” kata Prayugo.

Dikatakan Prayugo, selain membantu kerja petani lebih efisien, penerapan elektrifikasi pertanian merupakan dukungan PLN menuju swasembada energi untuk masa depan berkelanjutan dan adopsi teknologi modern. “PLN mendorong petani beralih menggunakan peralatan berbasis listrik yang jauh lebih modern dan tanpa BBM. Dampaknya ke lingkungan sangat besar: tanpa asap dan udara pun lebih bersih. Selain itu, dari segi biaya juga lebih efisien. Bisa menghemat pengeluaran hingga 60 persen dibandingkan menggunakan BBM,” katanya.

Analisis Berita: Jaga Ketahanan Pangan

Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian Universitas Katolik Santo Thomas Medan, Posman Sibuea mengatakan, elektrifikasi pertanian dari PLN dan diterapkan para petani menjadi tanda pertanian Indonesia memasuki era modernisasi. Program ini perlu didukung karena modernisasi sesungguhnya tidak hanya meningkatkan produktivitas, meminimalisir biaya, dan memudahkan pekerjaan, tapi juga mendukung ketahanan pangan ke depannya.

Dikatakannya, ketahanan pangan menjadi isu penting saat ini, apalagi di tengah perubahan iklim yang semakin tak menentu. Misalnya ancaman kekeringan dan banjir. Belum lagi persoalan kelangkaan BBM. Padahal BBM dibutuhkan untuk menggerakkan peralatan pertanian. Hal ini tentu saja merugikan petani karena mengganggu produktivitas pertanian.

“Melalui elektrifikasi, petani mendapat dukungan energi baru yang lebih stabil yakni listrik untuk menggerakkan peralatan pertanian mereka setiap saat. Petani tak tergantung kepada ketersediaan BBM. Mereka dapat menanam sesuai jadwal, mengaliri sawah menggunakan pompa listrik tanpa khawatir BBM langka, dan hasil panen pun jauh lebih banyak. Ketika produksi pertanian berlangsung secara berkelanjutan dan hasil panen meningkat, ketahanan pangan pun lebih terjamin,” kata Posman kepada https://soeara.com, Rabu (3/12/2025).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *