JURNAL GAYA – Setiap tanggal 4 Desember, dunia merayakan Hari Konservasi Satwa Liar Sedunia (World Wildlife Conservation Day).
Peringatan Hari Konservasi Satwa Liar Sedunia ini sejatinya menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran global akan ancaman kepunahan satwa liar dan pentingnya pelestarian habitat.
Namun, di tahun 2025 ini, gaung peringatan Hari Konservasi Satwa Liar Sedunia tersebut terasa getir, terutama di Pulau Sumatra, Indonesia.
Banjir bandang dan longsor masif melanda berbagai wilayah di Sumatra, mengungkap ironi mendalam antara komitmen konservasi dan kenyataan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Bencana Ekologis dan Hilangnya Daya Dukung Hutan
Musibah hidrometeorologi yang menerjang Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November hingga awal Desember 2025 telah menelan korban jiwa ratusan orang dan menyebabkan kerusakan infrastruktur yang parah.
Berbagai pakar dan organisasi lingkungan sepakat, meski dipicu oleh cuaca ekstrem (seperti Siklon Tropis Senyar), tingkat kehancuran yang masif merupakan bencana ekologis yang diperparah oleh degradasi hutan secara sistematis di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS).
Data menunjukkan tutupan hutan alam di banyak DAS kritis telah berada di bawah ambang batas aman (30%), sebagian besar karena deforestasi untuk perluasan perkebunan sawit, pertambangan emas ilegal, dan pembalakan liar.
Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai spons alami—menyerap dan menahan air—telah hilang dan rusak disebabkan ketamakan manusia jahat.
Akibatnya, air hujan meluncur deras, membawa lumpur, batu, dan kayu gelondongan yang diduga berasal dari praktik eksploitasi hutan, memperparah dampak banjir bandang.
Ironi Konservasi: Ketika Harimau Kehilangan Rumah
Di tengah kerusakan dahsyat ini, satwa liar—termasuk spesies ikonik yang terancam punah seperti Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), Orangutan Sumatra (Pongo abelii), dan Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus)—menjadi korban yang tak terlihat.
Habitat alami mereka, hutan tropis Sumatra yang terancam, kini tak hanya menyusut perlahan akibat konversi lahan, tetapi juga dihancurkan seketika oleh bencana alam yang dipicu oleh ulah manusia itu sendiri.
Ironi Hari Konservasi Satwa Liar terletak pada kontrasnya antara seruan global untuk melindungi satwa dan pemandangan nyata habitat mereka yang tersapu oleh air bah.
Bagaimana kita bisa berbicara tentang menyelamatkan Harimau Sumatra dari kepunahan, sementara kita membiarkan rumah mereka luluh lantak?
Banjir bukan hanya menghancurkan desa, tetapi juga menggusur satwa liar dari koridor dan kantong-kantong hutan yang tersisa, mendorong mereka semakin dekat ke permukiman dan meningkatkan potensi konflik dengan manusia.
Kerusakan lingkungan yang sistematis di Sumatra adalah pengingat yang menyakitkan: konservasi satwa liar tidak bisa dipisahkan dari konservasi habitat dan ekosistem secara keseluruhan.
Fokus pada perlindungan spesies tanpa menangani akar masalah degradasi lingkungan adalah upaya yang sia-sia, seperti menambal perahu yang terus bocor.
Panggilan Aksi: Titik Balik Restoratif
Hari Konservasi Satwa Liar 2025 harus menjadi panggilan keras bagi Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk bergerak dari retorika menuju aksi nyata.
Bencana di Sumatra adalah alarm bahwa alam telah menagih. Sudah saatnya ada moratorium tegas terhadap izin tambang dan ekspansi perkebunan sawit di wilayah hulu yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air vital.
Langkah reforestasi dan rehabilitasi lahan kritis di DAS harus segera dan masif dilakukan, bukan hanya untuk mencegah bencana di masa depan, tetapi juga untuk memulihkan daya dukung ekosistem yang menjadi satu-satunya rumah bagi satwa liar Sumatra.
Hanya dengan mengembalikan keseimbangan alam, kita bisa benar-benar merayakan Hari Konservasi Satwa Liar tanpa diselimuti ironi tragis.
Mari pastikan Harimau Sumatra tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga penghuni lestari di hutan yang benar-benar kita jaga.***



















