Membaca Kembali Kezaliman Hutan

Kerusakan Hutan Indonesia: Kegagalan Struktural dan Etika

Kerusakan hutan Indonesia bukan lagi sekadar peringatan alam, tetapi cermin dari kegagalan struktural yang merentang dari hukum hingga moralitas publik. Deforestasi, banjir bandang, dan longsor yang datang beruntun menunjukkan betapa rapuhnya fondasi ekologis bangsa. Bumi sedang bersuara keras, sementara manusia tampak abai.

Kerusakan hutan Indonesia telah memasuki fase paling kritis dalam sejarah modern. Deforestasi massif, banjir, longsor, dan cuaca ekstrem yang meningkat bukan sekadar peristiwa alami, melainkan tanda bahwa keseimbangan ekologis telah runtuh. Di balik bencana ini terdapat persoalan tata hukum yang melemah, struktur ekonomi-politik yang dikuasai kepentingan ekstraktif, serta etos moral yang kian menipis.

Dalam kerangka hukum internasional, kerusakan lingkungan dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Pasalnya, setiap orang di dunia ini berhak atas udara bersih, air layak, dan ruang hidup aman. Prinsip ini sejalan dengan pendekatan hak asasi (rights-based approach) yang menempatkan lingkungan sehat sebagai prasyarat kehidupan manusia yang bermartabat.

Di Indonesia, regulasi lingkungan sebenarnya dibangun di atas tiga pilar: pencegahan, penegakan hukum, dan partisipasi publik. Namun, pada praktiknya, ketiga pilar ini kerap runtuh di hadapan kepentingan ekonomi ekstraktif. Teori regulatory capture George J. Stigler menggambarkan bagaimana lembaga pengawas sering kali disandera oleh kelompok yang mereka awasi. Inilah yang terlihat dalam sektor kehutanan: izin konseksi diberikan tanpa kajian ekologis memadai, sanksi hukum terhadap pelaku kebakaran lemah, pembalakan liar berlangsung terbuka. Sementara itu, masyarakat adat yang mempertahankan hutan justru dikriminalisasi. Dengan demikian, kehancuran hutan bukanlah kecelakaan administrasi, melainkan konsekuensi dari struktur kekuasaan yang timpang.

Konsep bencana ekologis sebagai akibat kolektif juga ditegaskan dalam Alquran. Ayat tentang peringatan bencana yang menimpa bukan hanya orang zalim (QS. Al-Anfal: 25) selaras dengan teori risk society Ulrich Beck bahwa risiko ekologis bersifat demokratis—menyerang siapa saja tanpa membedakan kelas sosial. Dalam fiqh lingkungan, kerusakan hutan dipandang sebagai kezaliman struktural karena ia muncul dari keputusan yang merusak daya dukung dan keseimbangan alam. Pembukaan lahan sawit dan HPH besar-besaran menyebabkan tanah kehilangan struktur organik, keanekaragaman hayati runtuh, aliran air berubah, suhu mikro meningkat, dan siklus karbon terganggu. Fenomena ini membuktikan makna firman Allah bahwa kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah manusia (QS. Ar-Rum: 41).

Komoditas

Dalam kerangka kapitalisme ekstraktif, hutan direduksi menjadi komoditas. Konsep accumulation by dispossession menggambarkan bagaimana kekuasaan politik dan ekonomi mengubah wilayah adat menjadi ruang akumulasi modal. Kelompok paling rentan—masyarakat adat dan warga desa—justru menanggung risiko terbesar dari deforestasi. Hadis Nabi saw tentang menolong orang yang berbuat zalim dengan mencegah kezalimannya sejalan dengan konsep social responsibility, stakeholder theory, dan environmental justice, bahwa negara, korporasi, akademisi, dan masyarakat sipil memiliki kewajiban moral untuk menghentikan perusakan lingkungan.

Fenomena greenwashing makin memperburuk keadaan. Banyak proyek yang merusak hutan dibungkus dengan jargon “pembangunan”, padahal nyatanya mengeksploitasi gambut, mengusir masyarakat adat, dan menciptakan kerusakan jangka panjang. Ayat Alquran tentang mereka yang mengaku membuat perbaikan padahal merusak (QS. Al-Baqarah: 11–12) sangat relevan dalam konteks ini.

Prinsip etika lingkungan Islam—tauhid ekologis, khilafah, amanah, dan keadilan ekologis—menegaskan bahwa manusia bukan pemilik bumi, melainkan penjaga yang wajib memeliharanya. Prinsip ini bertemu dengan gagasan pembangunan berkelanjutan dan intergenerational equity, yang menegaskan bahwa generasi hari ini tidak berhak mewariskan kehancuran ekologis kepada generasi mendatang.

Solusi

Untuk keluar dari krisis ini, hukum, etika, dan ilmu pengetahuan harus berjalan seiring. Penegakan hukum harus bebas dari intervensi oligarki, proses perizinan harus transparan, dan sanksi pidana terhadap perusak hutan harus tegas. Etika dan nilai spiritual memberi landasan moral, sementara ilmu pengetahuan menyediakan alat untuk memetakan kerusakan dan merancang pemulihan ekologis. Ketiganya hanya efektif bila diintegrasikan dalam visi nasional yang menempatkan kelestarian lingkungan sebagai fondasi peradaban.

Tantangan terbesar Indonesia bukan kekurangan aturan atau pengetahuan, melainkan keberanian moral untuk menegakkan keduanya di tengah kuatnya tekanan ekonomi dan politik. Alam sudah memberi sinyal kerusakan yang tidak bisa dinegosiasi. Kini saatnya negara dan masyarakat memilih: apakah akan terus membiarkan kehancuran, atau memulihkan hutan sebelum semuanya terlambat.

Pos terkait