Krisis Literasi Sains! Hoaks Memburuk, Pakar Sebut 3 Penghalang Ilmuwan dan Masyarakat

Peran Ilmu Pengetahuan dalam Membangun Literasi Sains di Era Digital

Digitalisasi yang pesat telah menciptakan krisis literasi sains yang parah. Hal ini ditandai oleh munculnya hoaks, pseudosains, dan rendahnya kemampuan publik dalam memilah fakta dari “sampah informasi.” Dalam situasi ini, ilmu pengetahuan tidak lagi cukup berada di dalam kampus, tetapi harus menyatu kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat melalui perangkat seperti smartphone.

Dirjen Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek, Prof. Ahmad Najib Burhani, menggambarkan era ini sebagai “kematian kepakaran,” di mana kepercayaan publik terhadap institusi ilmiah mengalami erosi parah. Ia juga menyoroti fenomena “persenjataan kepakaran,” yaitu ketika ilmu digunakan untuk tujuan non-ilmiah. Menurut Najib, meskipun fokus pada kecanggihan teknologi seperti AI dan ruang kuliah virtual penting, hal ini tidak cukup dan justru menimbulkan kekhawatiran baru.

Jika ilmu gagal menjembatani kesenjangan ini, teknologi canggih hanya akan menjadi kemewahan terisolasi di “menara gading.” Pernyataan ini disampaikannya pada seminar dan Workshop Nasional di Sasana Budaya Ganesha, Bandung, Kamis 4 Desember 2025, yang menyoroti peran akademisi sebagai komunikator sains.

Tiga Sekat Penghalang Sains Sampai ke Publik

Najib mengidentifikasi tiga sekat utama yang memisahkan sains dari masyarakat:

  • Sekat Eksklusivitas: Ilmu pengetahuan masih dianggap elitis; banyak riset unggulan tidak dipahami atau dimanfaatkan masyarakat.
  • Sekat Komunikasi: Banjir informasi membuat 80% konten adalah sampah, sementara ruang komunikasi sains kredibel kosong; hoaks menyebar lebih cepat daripada fakta.
  • Sekat Keterlibatan: Masyarakat masih diposisikan sebagai objek penerima manfaat, padahal mereka memiliki kekayaan pengetahuan lokal seperti teknologi penyimpanan gabah Suku Baduy.

Ilmu pengetahuan harus bertransformasi menjadi gerakan publik, mengalir keluar dari institusi dan menjadi milik masyarakat. Untuk itu, ekosistem partisipasi publik, penghidupan pengetahuan lokal, dan komunikasi sains harus diperkuat. “Transformasi harus memastikan ilmu pengetahuan memberikan dampak nyata, mengatasi kesenjangan literasi sains di tengah badai misinformasi,” pungkas Najib.

Kemendiktisaintek Gandeng TikTok: Membangun “Rumah Baru” Sains Digital

Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek, Prof. Yudi Darma, menyatakan ilmu pengetahuan memerlukan “rumah baru” agar tetap didengar dan dicintai publik. Kolaborasi dengan platform digital seperti TikTok berhasil mencairkan sekat kaku antara dunia akademik dan media sosial.

Gawai berfungsi sebagai ruang baru bagi pendidik dan publik untuk berinteraksi; upaya mendekatkan hasil riset sains dan teknologi ke masyarakat menjadi sangat krusial. “Literasi sains dan public understanding harus dikuatkan agar terjadi engagement positif, memberikan feedback yang memperkaya karya sains Indonesia,” ujar Yudi.

Executive Director Tokopedia & TikTok E-Commerce Indonesia, Stephanie Susilo, mengungkapkan, konten pendidikan adalah salah satu kategori terpopuler di TikTok Indonesia. Antusiasme publik terhadap konten pembelajaran relevan dan mudah diakses sangat besar, terbukti dari 24 juta lebih konten edukasi yang telah diunggah.

TikTok menghadirkan Feed STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) untuk memperkuat literasi, aktif otomatis bagi pengguna di bawah 18 tahun. Stephanie menjelaskan, Feed STEM membekali generasi muda dengan dasar sains, memperkuat daya saing nasional, dan mendukung target pemerintah mencetak 9 juta talenta digital pada 2030.


Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *