Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) BPN, Nusron Wahid, mengungkapkan fakta mengejutkan dalam sebuah pengajian di Pesantren Syamsul Ulum. Ia menyebut bahwa 46 persen tanah non-hutan di Indonesia dikuasai oleh hanya sekitar 60 keluarga. Angka ini memicu perdebatan serius tentang bagaimana sistem agraria di Indonesia telah berubah menjadi alat bagi oligarki untuk merampok tanah rakyat.
Kronologi Lengkap
Dalam pengajian yang digelar di pesantren sepuh tersebut, Nusron membuka dengan ayat Al-Qur’an Surah al-Hasyr ayat 7 yang mengingatkan tentang keadilan dalam pembagian harta. Ayat itu menjadi dasar bagi pendapatnya bahwa tanah hari ini juga dirampas, tapi bukan dari musuh seperti masa Nabi Muhammad Saw, melainkan dari rakyat sendiri.
Ia menjelaskan bahwa dari total 70 juta hektare tanah non-hutan, 30 juta hektare dikuasai oleh sekitar 3.500 perusahaan. Bahkan, ada satu keluarga yang memiliki 1,8 juta hektare tanah. Ini mencerminkan dominasi ekonomi yang sangat besar, yang tidak hanya menguntungkan para elite, tetapi juga mengorbankan petani dan masyarakat kecil.
Mengapa Menjadi Viral?
Pernyataan Nusron mengenai dominasi tanah oleh 60 keluarga langsung menjadi viral di media sosial. Pemikiran tentang bagaimana tanah bisa menjadi milik segelintir orang, sementara banyak warga negara kesulitan mendapatkan lahan, memicu reaksi luas dari masyarakat. Video khotbahnya tersebar cepat, dan banyak netizen menyampaikan dukungan terhadap pendapatnya.
Selain itu, isu oligarki merampok tanah juga muncul dalam berbagai kasus nyata. Misalnya, sengketa tanah antara PT Hadji Kalla dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD), bagian dari Lippo Group, di mana Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, diketahui terlibat. Kasus ini menunjukkan bahwa bahkan tokoh penting pun bisa menjadi korban perampasan tanah oleh oligarki.
Respons & Dampak
Pernyataan Nusron menimbulkan respons beragam. Beberapa kalangan mengapresiasi tindakan menteri yang akhirnya mengangkat isu ketimpangan agraria. Namun, ada juga yang skeptis, khawatir bahwa langkah-langkah reformasi yang dijanjikan tidak akan cukup efektif jika tidak didukung oleh perubahan struktural.
Dampak sosialnya juga signifikan. Petani dan masyarakat kecil merasa diperlakukan tidak adil karena sulitnya mendapatkan akses tanah. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan agraria yang tidak transparan akan terus memperkuat dominasi oligarki.
Fakta Tambahan / Klarifikasi
Dalam konteks yang lebih luas, kasus-kasus seperti ini tidak hanya terjadi di wilayah tertentu, tetapi melibatkan berbagai sektor, termasuk hutan, tambang, perkebunan, pantai, dan sungai. Penggusuran rakyat juga sering dilakukan oleh oligarki bersama mafia tanah, yang bekerja sama dengan aparat dan pejabat.
Sebelumnya, eks Sekretaris BUMN, Said Didu, juga mengkritik situasi ini, menyatakan bahwa oligarki bisa merampok tanah siapa saja, termasuk tokoh nasional. Hal ini menunjukkan bahwa masalah agraria adalah isu yang sudah lama berlangsung dan perlu solusi permanen.
Penutup — Kesimpulan & Perkembangan Selanjutnya
Isu oligarki merampok tanah terus menjadi topik hangat di tengah masyarakat. Meski ada upaya dari pemerintah, seperti yang diungkapkan Menteri Nusron, masih banyak yang harus dilakukan agar keadilan agraria benar-benar tercapai. Publik menantikan langkah konkret dari pemerintah untuk mengakhiri dominasi oligarki atas tanah negara.



















