Operasi besar-besaran polisi di Rio de Janeiro, Brasil, memicu kecaman luas. Setelah dugaan kekejaman yang dilakukan aparat mencuat.
Dikutip dari laman The Telegraph, Jumat (31/10/2025) aparat dituduhan memenggal kepala seorang remaja — anggota geng narkoba — dan menggantungkannya di sebuah pohon.
Sementara itu, dalam unggahan foto dari AP News, terlihat puluhan jenazah dengan kondisi mengenaskan ditemukan di hutan sekitar kawasan Alemão dan Penha.
Jenazah ini dibawa ke jalan dan diletakkan di atas terpal plastik. Dalam waktu singkat, jumlah korban tewas mencapai sekitar 132 orang—melampaui tragedi Carandiru pada 1992 yang menewaskan 111 anggota geng.
Operasi brutal yang digelar pada Selasa (28/10) ini dilakukan menjelang kedatangan para pemimpin dunia dan delegasi internasional untuk KTT Iklim COP30 di Belém, Brasil.
Raquel Thomas, ibu dari seorang pemuda 19 tahun yang menjadi korban, mengatakan kepada media lokal bahwa putranya dieksekusi tanpa perlawanan.
“Mereka menggorok leher anak saya dan menggantung kepalanya di pohon. Dia tidak diberi kesempatan untuk membela diri,” ujarnya.
Seorang pengacara bernama Albino Pereira Neto yang mewakili tiga keluarga korban, menyebut beberapa jasad menunjukkan luka bakar dan diduga dibunuh secara keji.
Para korban, sebagian besar remaja hingga pria berusia 20–30-an, diyakini anggota kelompok kriminal Comando Vermelho — jaringan narkoba terbesar dan tertua di Rio.
Marcelo de Menezes, sekretaris polisi militer, mengatakan bahwa petugas mendorong para pelaku ke area hutan untuk melindungi warga lokal.
Polisi Brasil melancarkan operasi penggerebekan terhadap pengedar narkoba di salah satu favela, Rio de Janeiro. Warga favela membariskan lebih dari 40 jenazah di sebuah plaza lingkungan mereka setelah operasi polisi paling berdarah dalam sejarah kota tersebut.
Dilansir AFP, Rabu (29/10/2025), jenazah-jenazah tersebut dibaringkan di dekat salah satu jalan utama di Kompleks Penha. Namun, belum ada konfirmasi resmi mengenai apakah mereka termasuk di antara 60 tersangka anggota geng narkoba yang tewas dalam operasi antinarkoba besar-besaran di dua favela di Rio utara.
Empat petugas polisi juga tewas dalam operasi yang melibatkan 2.500 petugas tersebut. Operasi tersebut menargetkan Comando Vermelho, organisasi kriminal utama Rio, yang beroperasi di favela-favela tersebut — permukiman padat penduduk dan kelas pekerja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihak berwenang mengatakan bahwa ’60 penjahat’ telah tewas dalam pertempuran yang terjadi selama penggerebekan narkoba di kompleks Penha dan kompleks Alemao, yang terletak di dekat bandara internasional Rio.
ADVERTISEMENT
Sejumlah besar petugas polisi yang terlibat dalam operasi tersebut didukung oleh kendaraan lapis baja, helikopter, dan drone, sementara jalanan favela dipenuhi pemandangan seperti perang. Claudio Castro, gubernur negara bagian Rio, menuduh geng kriminal tersebut menggunakan drone untuk menyerang petugas polisi selama operasi.
“Beginilah cara polisi Rio diperlakukan oleh penjahat: bom dijatuhkan oleh drone. Inilah skala tantangan yang kami hadapi. Ini bukan kejahatan biasa, melainkan narkoterorisme,” ujarnya dalam sebuah unggahan di X, ia membagikan video dari penggerebekan tersebut.
Kesaksian fotografer yang meliput operasi polisi yang menewaskan 121 orang di Rio de Janeiro – ‘Saya menyaksikan tubuh tanpa kepala’
Sumber gambar, EPA/Shutterstock Keterangan gambar, Seorang perempuan berduka atas kematian anggota keluarganya akibat operasi kepolisian di Rio de Janeiro, Brasil.
Penulis, Felipe Llambías Peranan, BBC News Mundo
30 Oktober 2025
Sekitar pukul 6 pagi pada Selasa (28/10), fotografer Bruno Itan terbangun oleh rentetan bunyi pesan dari ponselnya. Rumor penembakan beredar di komunitas warga di Complexo do Alemão, tempat ia dibesarkan.
Pagi itu menjadi awal operasi polisi paling berdarah di wilayah metropolitan Rio de Janeiro sejak 1990, menurut catatan Universitas Federal Fluminense di Brasil.
Setidaknya 121 orang tewas dan 113 orang ditangkap, sebagaimana disebutkan data resmi Kepolisian Sipil dan Militer Rio de Janeiro.
Operasi tersebut melibatkan 2.500 petugas keamanan yang membawa 180 perintah penahanan, 100 perintah masuk penjara.
Rangkaian peristiwa itu terjadi di kawasan seluas 9 juta meter persegi atau sekitar 12 kali luas Kompleks Gelora Bung Karno di Jakarta.
[Hukuman mati]
Aksi aparat yang disebut pemerintah setempat sebagai “operasi terbesar yang dilakukan oleh pasukan keamanan Rio de Janeiro” merupakan bagian dari Operasi Pembendungan.
Tujuannya adalah untuk menahan ekspansi geng Comando Vermelho, yang mendominasi beberapa wilayah kota.
Baca juga:
Gubernur Claudio Castro menggambarkan operasi tersebut sebagai sebuah “keberhasilan” dan “pukulan telak bagi kejahatan.”
Di sisi lain, kelompok-kelompok perlindungan hak asasi manusia menyebut operasi itu sebagai pembantaian. Mereka bahkan mempertanyakan efektivitasnya sebagai kebijakan keamanan,

Sumber gambar, Bruno Itan Keterangan gambar, Gubernur Claudio Castro menggambarkan operasi tersebut sebagai sebuah “keberhasilan” dan “pukulan telak bagi kejahatan.”
Sumber gambar, Reuters
Sumber gambar, EPA/Shutterstock
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca Akun resmi kami di WhatsApp Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda. Klik di sini Akhir dari Whatsapp
Hal itu diamini oleh fotografer Bruno Itan.
“Di Brasil tidak ada hukuman mati. Setiap penjahat, apa pun perbuatannya, harus ditangkap dan diadili untuk menentukan hukumannya. Namun kemarin di sini, di Complexo do Alemão dan Complexo da Penha, hukuman mati telah diterapkan,” ucapnya.
“Yang menentukan hukuman mati ini adalah polisi sendiri. Mereka yang memutuskan siapa yang akan hidup dan siapa yang akan mati,” lanjut sang fotografer.
Baca juga:
Lahir di Recife, Bruno pindah ke Complexo do Alemão bersama keluarganya pada usia 10 tahun.
Ia mulai memotret pada 2008 melalui kursus Memórias do PAC, yang ditawarkan oleh pemerintah federal di komunitas tersebut.
Ia juga bekerja sebagai fotografer resmi untuk pemerintah Rio de Janeiro antara 2011 dan 2017.
Bruno Itan adalah pendiri proyek Olhar Complexo, yang menawarkan kursus fotografi gratis untuk anak-anak dan remaja di wilayah kumuh tersebut—alias favela.
Karyanya berfokus pada penggambaran realitas dan kehidupan sehari-hari di favela itu.
“Pandangan saya selalu tertuju pada sisi positif di favela serta keberagaman dan budaya yang ada di sana. Namun, sayangnya, kita tahu bahwa realitas favela tidak hanya itu,” ujarnya.
Sumber gambar, Bruno Itan Keterangan gambar, Operasi ini merupakan operasi paling mematikan yang pernah tercatat di wilayah metropolitan Rio de Janeiro sejak 1990.
Begitu mengetahui 2.500 petugas polisi terlibat dalam operasi tersebut, Bruno Itan memutuskan untuk meninggalkan rumah dan pergi ke lokasi.
Setibanya di lokasi, sekitar pukul 10.00 pagi, ia mendapati mobil-mobil terbakar, lubang-lubang bekas peluru, dan warga yang panik.
“Saya melihat penembakan, saya melihat mobil-mobil yang terbakar, saya mulai merekam. Warga juga melaporkan banyaknya kebrutalan polisi,” ungkapnya.
Di Rumah Sakit Getúlio Vargas, jenazah terus berdatangan. Hingga saat itu, jumlah korban tewas resmi adalah 64 orang.
“Banyak jenazah berdatangan, termasuk jenazah petugas polisi,” ujarnya.

Pencarian anggota keluarga yang hilang
Menurut Bruno, wartawan dilarang masuk ke kompleks Penha.
“Polisi melepaskan tembakan ke udara dan tidak mengizinkan kami lewat. Mereka membentuk barisan dan berkata, ‘Pers tidak diizinkan lewat sini.'”
Baca juga:
Karena tumbuh besar di favela, ia berhasil masuk ke tempat itu. “Saya tiba di kompleks itu, dan saya tinggal sampai subuh untuk memotret.”
Malam harinya, warga mulai mencari sanak saudara mereka yang hilang. Jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah kematian yang tercatat saat itu.
Pada pagi hari, keluarga-keluarga mulai melakukan pencarian di pegunungan Misericordia, yang memisahkan Complexo da Penha dari Complexo do Alemão.
Sumber gambar, EPA/Shutterstock Keterangan gambar, Para keluarga membaringkan jenazah sanak saudara mereka yang terbunuh dalam operasi polisi terhadap geng narkoba.
Sumber gambar, EPA/Shutterstock Keterangan gambar, Para keluarga mengucapkan selamat tinggal kepada sanak saudara mereka yang terbunuh dalam operasi polisi terhadap geng narkoba.
Sumber gambar, EPA/Shutterstock Keterangan gambar, Jenazah-jenazah orang yang tewas akibat operasi kepolisian dibaringkan di jalan Kota Rio de Janeiro.
Warga memindahkan setidaknya 55 jenazah ke Alun-alun São Lucas, di Estrada José Rucas, salah satu jalan utama di wilayah tersebut.
“Keluarga-keluarga pergi sendiri untuk mengevakuasi jenazah. Mereka berhasil tiba dengan sepeda motor dan mobil; mereka menutupi jenazah dengan terpal dan membawanya ke sini, ke Alun-alun Complexo da Penha,” ujarnya.
“Awalnya, sekitar 20 jenazah tiba. Dan kemudian, wow!, tak henti-hentinya. 25, 30, 35, 40, 45 jenazah tiba… Mereka adalah nyawa, terlepas dari apa yang telah mereka perbuat.”
Sumber gambar, EPA/Shutterstock Keterangan gambar, Sejumlah pengendera sepeda motor mengangkat tangan mereka saat operasi berlangsung.
Sumber gambar, Reuters Keterangan gambar, Selain empat petugas polisi, orang-orang tewas lainnya adalah “teroris narkoba,” menurut gubernur Rio de Janeiro.
Kepolisian Sipil Rio de Janeiro akan membuka penyelidikan untuk mengklarifikasi pemindahan jenazah dari hutan oleh warga. Penyelidikan akan menentukan apakah terdapat dugaan “kecacatan prosedural”, menurut Felipe Curi, sekretaris Kepolisian Sipil Rio de Janeiro.
Curi menyatakan bahwa jenazah yang dibaringkan di tempat umum telah dimanipulasi.
“Kami memiliki gambar semua jenazah mengenakan pakaian kamuflase, rompi antipeluru, dan membawa senjata perang. Kemudian, beberapa jenazah muncul hanya mengenakan pakaian dalam atau celana pendek, bertelanjang kaki, dan tanpa busana apa pun. Dengan kata lain, sebuah keajaiban terjadi,” ujarnya.
“Tampaknya mereka memasuki sebuah gedung dan berganti pakaian. Kami memiliki gambar orang-orang yang memindahkan jenazah dari hutan dan menempatkannya di jalan umum, lalu menelanjangi para penjahat ini,” ujar pejabat kepolisian tersebut.
‘Ini tidak normal’
Bruno Itan juga menyoroti jumlah orang yang meninggal akibat luka tusuk.
“Ini tidak normal. Ini mungkin operasi terbesar dalam sejarah negara ini,” kata Bruno, mengenang pembantaian Carandiru, ketika 111 narapidana dibunuh untuk memadamkan pemberontakan di Lembaga Pemasyarakatan São Paulo pada 1992.
“[Jenazah-jenazah itu] dipenggal, cacat total […] tanpa wajah, tanpa separuh wajah, tanpa lengan, tanpa kaki,” katanya.
“Yang benar-benar mengejutkan saya adalah jumlah jenazah dengan luka tusuk; ada banyak foto yang menunjukkan bahwa itu adalah akibat senjata tajam, mengerti?”
Sumber gambar, EPA/Shutterstock Keterangan gambar, Seorang perempuan berduka atas kematian anggota keluarganya akibat operasi kepolisian di Rio de Janeiro.
Dalam ingatannya, “bau kematian” masih terasa.
“Di tempat saya sekarang, tidak ada lagi jenazah, tetapi baunya tetap ada bahkan di dalam jiwa saya,” ujarnya.
“Saya sangat terkejut dengan kebrutalan yang terjadi. Penderitaan keluarga, para ibu yang pingsan, ibu hamil yang menangis, para ayah yang murka… saya bisa saja menjadi salah satu dari mereka. Jika saya tidak mengenal fotografi, saya bisa saja tiba-tiba menjadi salah satu dari mereka.”
Sumber gambar, EPA/Shutterstock Keterangan gambar, Operasi tersebut melibatkan 2.500 petugas keamanan yang membawa 180 perintah penahanan, 100 perintah masuk penjara.
Baginya, kebijakan keamanan di favela masih didasarkan pada kekerasan.
“Sayangnya, kebijakan keamanan publik selalu didasarkan pada kekerasan. Tidak pernah pada aksi sosial, pendidikan, perumahan, kesehatan, atau budaya, yang dibutuhkan favela untuk menyelamatkan orang-orang ini.”
Sumber gambar, EPA/Shutterstock Keterangan gambar, Comando Vermelho adalah geng narkoba terbesar di Rio de Janeiro.
Bruno Itan, yang telah mendokumentasikan operasi-operasi keamanan lain, seperti operasi di Jacarezinho yang menewaskan 28 orang pada Mei 2021, mengatakan bahwa tidak ada yang sebanding dengan apa yang disaksikannya pada 28 Oktober.
“Saya pikir saya telah menyaksikan operasi terburuk dalam hidup saya. Tidak ada yang sebanding dengan apa yang saya saksikan di sini hari ini,” ujarnya.
Sumber gambar, EPA/Shutterstock Keterangan gambar, Mobil-mobil dibakar dalam peristiwa yang terjadi di kawasan seluas 9 juta meter persegi atau sekitar 12 kali luas Kompleks Gelora Bung Karno di Jakarta.
Pada Rabu (29/10), Kejaksaan Federal Brasil meminta Institut Medis Forensik Rio de Janeiro menyediakan, dalam waktu 48 jam, semua data autopsi jenazah para korban operasi polisi di Rio de Janeiro.
Dokumen tersebut juga menuntut pemerintah Negara Bagian Rio de Janeiro untuk menunjukkan bahwa mereka telah mematuhi putusan Mahkamah Agung Federal (STF) dalam kasus ADPF 635, sebuah tindakan yang mempertanyakan tingkat keparahan aksi yang dilakukan kepolisian Rio.
Tindakan itu memaksa pemerintah Negara Bagian Rio untuk menyampaikan rencana berisi aturan dan parameter tindakan kepolisian, yang diterima oleh Mahkamah Agung pada April.
Kejaksaan Federal dan Ombudsman meminta agar pemerintahan Gubernur Claudio Castro mengklarifikasi dan menunjukkan kepatuhan terhadap poin-poin yang tercantum dalam rencana tersebut, seperti penggunaan kamera tubuh oleh para petugas; penyampaian justifikasi formal atas operasi tersebut; dan keberadaan ambulans di area terdampak.
Bruno Itan mengamati semuanya dengan letih dan frustrasi.
“Jika masyarakat berpikir mereka menang, bahwa mereka berjaya, saya pikir kita semua akan kalah.”
“Sayangnya, kebijakan keamanan publik untuk favela selalu didasarkan pada ancaman senapan,” keluhnya.
“Saya jamin, ketika seseorang tewas dalam perdagangan narkoba, ada dua atau tiga orang lagi yang akan terjerumus lagi.”



















