Pertarungan kekuasaan di dalam tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali memicu perhatian publik. Isu yang muncul tidak hanya terkait dengan pergantian kepemimpinan, tetapi juga tuntutan untuk mendapatkan jatah kepemimpinan di BUMN dan lembaga negara lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa NU, sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, tidak hanya berperan dalam bidang keagamaan, tetapi juga memiliki pengaruh signifikan dalam ranah politik dan ekonomi.
Dalam konteks ini, PBNU tidak lagi sekadar organisasi keagamaan, melainkan institusi yang memiliki peran penting dalam pembentukan kebijakan nasional. Peran NU dalam pemerintahan dan sektor swasta telah menjadi bukti bahwa organisasi ini memiliki kekuatan yang tidak bisa diabaikan. Salah satu contohnya adalah kolaborasi antara Menteri BUMN Erick Thohir dan Ketua Umum PBNU Saiq Aqil Siradj dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU).

Erick Thohir mengungkapkan bahwa akselerasi pemulihan ekonomi nasional memerlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk komunitas, akademisi, dan dunia usaha. “Saya harap, Perkumpulan Pengusaha dan Profesional Nahdliyin (P2N) dapat memberikan warna dalam dunia perdagangan, perekonomian, dan profesionalisme dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional yang langsung dapat berdampak kebaikan bagi masyarakat Indonesia,” ujar Erick dalam keterangan tertulis.
Selain itu, PBNU juga aktif dalam membantu pemberdayaan UMKM melalui platform digital PaDi UMKM. Program ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi UMKM dalam pengadaan barang dan jasa BUMN. Dengan demikian, PBNU tidak hanya berperan sebagai organisasi keagamaan, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam penguatan ekonomi nasional.

Namun, isu tentang permintaan jatah kepemimpinan di BUMN dan lembaga negara lainnya tidak hanya berawal dari kerja sama yang positif. Ada indikasi bahwa beberapa tokoh NU ingin memperluas pengaruh mereka dalam struktur pemerintahan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana PBNU akan menjaga keseimbangan antara peran keagamaan dan politik.
Sejumlah pengamat menyatakan bahwa PBNU harus tetap fokus pada misi utamanya sebagai organisasi keagamaan yang berkomitmen pada nilai-nilai moderat dan inklusif. “PBNU tidak boleh terjebak dalam tarik-menarik kekuasaan yang tidak relevan dengan visi dan misinya,” kata salah satu pengamat.
Krisis internal PBNU juga menjadi perhatian serius. Perseteruan antara Tanfidziyah dan Syuriah PBNU telah memicu kegelisahan di kalangan anggota NU. Beberapa warga NU bahkan meminta para elit untuk melakukan islah dan mencari solusi bersama. “Kami ingin ada islah internal agar organisasi bisa kembali fokus pada kepentingan rakyat,” ujar salah seorang peserta musyawarah.
Meski begitu, PBNU tetap dianggap sebagai simbol Islam moderat yang inklusif. Dalam konteks global, NU menjadi representasi Islam Nusantara yang berupaya memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat gravitasi Islam moderat. Oleh karena itu, krisis internal PBNU tidak hanya berdampak pada organisasi itu sendiri, tetapi juga pada reputasi Indonesia sebagai negara yang memiliki kontribusi signifikan dalam dunia Islam.

Dalam situasi seperti ini, PBNU perlu memperkuat tata kelola dan transparansi. Legitimasi organisasi tidak hanya ditentukan oleh sejarah, tetapi juga oleh kemampuan untuk merespons tantangan saat ini. “Legitimasi ditentukan oleh cara institusi merespons tantangan saat ini,” ujar seorang ahli politik.
Dengan demikian, PBNU harus siap menghadapi tantangan masa depan dengan pendekatan yang lebih proaktif dan inklusif. Dengan menjaga keseimbangan antara peran keagamaan dan politik, serta memperkuat hubungan dengan masyarakat, PBNU dapat tetap menjadi jangkar moral yang stabil di tengah dinamika sosial-politik Indonesia.



















