Di tengah dinamika kehidupan yang semakin kompleks, muncul tren baru yang mulai menjadi perhatian khusus di kalangan generasi muda. Fenomena ini dikenal sebagai emotional spending atau belanja emosional, di mana seseorang melakukan pembelian tanpa pertimbangan rasional, melainkan karena dorongan emosi. Salah satu contoh yang sering diungkapkan adalah, “Aku tadi sedih terus beli roti.” Perilaku ini tidak hanya menggambarkan kebiasaan sehari-hari, tetapi juga mencerminkan masalah psikologis yang lebih dalam.
Apa Itu Emotional Spending?
Emotional spending adalah kebiasaan berbelanja yang dipicu oleh emosi, bukan kebutuhan nyata. Ini bisa terjadi ketika seseorang merasa stres, cemas, sedih, atau bahkan bahagia secara berlebihan. Dalam banyak kasus, belanja menjadi cara untuk meredakan rasa tidak nyaman atau mencari kenyamanan sementara. Namun, dampaknya sering kali justru memperburuk situasi, baik secara finansial maupun mental.
Menurut psikolog, emotional spending sering kali merupakan respons terhadap tekanan eksternal seperti ketidakstabilan ekonomi, perubahan sosial, atau pengaruh media sosial. Di era digital, di mana konten konsumsi dan promosi terus-menerus menghiasi layar, orang mudah terpengaruh untuk memenuhi keinginan sesaat tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.
Mengapa Gen Z Rentan Terhadap Emotional Spending?

Generasi Z, yang tumbuh di bawah dominasi internet dan media sosial, memiliki pola pikir dan perilaku yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka terbiasa dengan cepatnya informasi dan gaya hidup yang serba instan. Hal ini membuat mereka lebih rentan terhadap emotional spending, terutama karena:
-
Tekanan Sosial dan FOMO (Fear of Missing Out)
Media sosial sering menampilkan gaya hidup glamor, produk mahal, dan aktivitas yang tampak menyenangkan. Akibatnya, Gen Z sering merasa perlu ikut-ikutan agar tidak ketinggalan tren atau dianggap kudet. -
Kecemasan dan Ketidakpastian
Generasi ini tumbuh di tengah krisis global, seperti pandemi, perubahan iklim, dan ketidakstabilan ekonomi. Rasa cemas dan ketidakpastian ini seringkali diatasi dengan belanja impulsif sebagai bentuk pelarian. -
Kemudahan Akses Belanja Online
Berbelanja online kini sangat mudah. Dengan fitur seperti flash sale, free shipping, dan notifikasi yang terus-menerus, Gen Z lebih mudah tergoda untuk membeli barang tanpa rencana.
Dampak Negatif dari Emotional Spending

Meskipun awalnya terasa menyenangkan, emotional spending dapat memiliki dampak negatif yang signifikan, terutama jika dilakukan secara berkelanjutan. Beberapa di antaranya meliputi:
-
Utang yang Menumpuk
Banyak orang menggunakan kartu kredit atau layanan paylater untuk membeli barang secara impulsif. Tanpa disadari, utang bisa menumpuk dan menjadi beban berat di masa depan. -
Penurunan Kesehatan Finansial
Pengeluaran yang tidak terencana dapat mengurangi kemampuan untuk menabung atau berinvestasi, sehingga mengancam stabilitas keuangan jangka panjang. -
Stres Finansial yang Semakin Parah
Belanja untuk menghilangkan stres bisa berujung pada stres finansial yang lebih besar, menciptakan siklus yang sulit dipecahkan.
Bagaimana Mengendalikan Emotional Spending?

Psikolog menyarankan beberapa strategi untuk mengatasi emotional spending:
-
Kenali Pemicu Emosional
Identifikasi situasi atau emosi yang sering memicu belanja impulsif. Misalnya, apakah kamu sering belanja saat sedih, bosan, atau setelah melihat konten media sosial tertentu? -
Buat Anggaran yang Realistis
Susun anggaran bulanan yang mencakup kebutuhan pokok, tabungan, dan hiburan. Dengan anggaran yang jelas, kamu bisa lebih disiplin dalam mengatur pengeluaran. -
Latih Mindful Spending
Sebelum membeli sesuatu, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah ini benar-benar dibutuhkan atau hanya sekadar dorongan emosional?” Latihan ini membantu meningkatkan kesadaran dan pengendalian diri. -
Hindari Notifikasi dan Aplikasi Belanja
Matikan notifikasi dari aplikasi belanja atau uninstall aplikasi tersebut jika perlu. Ini bisa mengurangi godaan untuk berbelanja tanpa tujuan jelas. -
Gunakan Uang Tunai atau Debit
Hindari penggunaan paylater atau kartu kredit. Gunakan metode pembayaran yang lebih “nyata” agar kamu lebih sadar akan pengeluaranmu.
Kesimpulan

Fenomena emotional spending tidak hanya tentang belanja, tetapi juga tentang bagaimana kita merespons emosi dan tekanan dalam kehidupan sehari-hari. Meski awalnya terlihat sederhana, perilaku ini bisa berdampak besar pada kesehatan finansial dan mental. Dengan kesadaran yang lebih tinggi dan strategi yang tepat, kita bisa menghindari jebakan belanja impulsif dan menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan.



















