Warta Bulukumba – Abraham Samad, seperti biasanya, dengan ciri khasnya, mata tajam dan gerakan tangan yang menunjukkan kepastian, mengajukan pertanyaan yang menggemparkan. Di depannya, Prof Sulfikar Amir menganalisis setiap pernyataan Jokowi dengan pendekatan kritis.
Di episode terbaru channel YouTube “Abraham Samad Speak Up Netizen” yang dirilis pada hari Minggu, 30 November 2025, Prof Sulfikar Amir, seorang ahli sosiologi dari Universitas Teknologi Nanyang (NTU) Singapura, meninjau pidato mantan Presiden Jokowi dalam New Economy Forum Bloomberg Singapura pada tanggal 19-21 November. Pembahasan ini membahas klaim keberhasilan Jokowi dalam bidang infrastruktur dan hilirisasi, serta menyajikan berbagai pertanyaan kritis dari perspektif seorang sosiolog.
Prof Sulfikar Amir menjelaskan bahwa Bloomberg New Economy Forum adalah sebuah acara yang masih relatif baru, yang berusaha meniru forum sejenis seperti World Economic Forum di Davos. Forum ini mengundang para mantan pemimpin negara, CEO, serta akademisi ternama untuk membahas tren ekonomi masa depan. Jokowi diundang untuk menyampaikan pandangan tentang perekonomian di Asia Tenggara, dan menurut Prof. Sulfikar, Jokowi memanfaatkan kesempatan ini dengan sangat “cerdik” (tricky).
Terdapat dua hal utama yang mendorong Jokowi hadir dalam forum tersebut. Pertama, kepentingan politik internasional, di mana ia berusaha memperlihatkan pandangannya sambil merespons tuduhan dari OCCRP yang menyebutnya sebagai salah satu pemimpin negara yang paling korup. Kedua, kepentingan politik dalam negeri, khususnya terkait isu ijazah.
“Melalui tampilannya di Bloomberg New Economy Forum, dia ingin menyampaikan bahwa ya, dia masih dihargai oleh lembaga internasional,” jelas Prof. Sulfikar, yang mengisyaratkan bahwa masalah ijazah dianggap tidak relevan bagi Jokowi.
Prof. Sulfikar juga menambahkan bahwa forum ini sebenarnya tidak sebesar yang sering dihebohkan di Indonesia, melainkan “forum biasa saja di Singapura yang hampir setiap bulan ada pertemuan seperti itu.”
Warisan yang tidak terpadu dan utilitasnya rendah
Jokowi memberikan pidato penutup selama 13 menit yang menurut Prof. Sulfikar merupakan “cara dia menghibur diri” bahwa ia telah berhasil membangun Indonesia. Dua hal utama yang ditekankan adalah pembangunan infrastruktur serta pengolahan lanjutan.
Mengenai infrastruktur, Jokowi menyatakan pencapaian besar yang menjadi “warisan” kepemimpinannya. Namun, Prof. Sulfikar mengkritik pernyataan tersebut. Meskipun banyak infrastruktur fisik yang telah dibangun (jalan tol, bandara, kereta cepat, IKN), biayanya tidak murah dan menyebabkan beban utang. Masalah utamanya adalah tingkat penggunaan infrastruktur yang sangat rendah, sekitar 30-40%, yang menunjukkan bahwa pembangunan tersebut belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
“Infrastruktur yang dibangun tidak saling terhubung. Tidak terintegrasi,” tegas Prof. Sulfikar.
Ia menjelaskan bahwa model pembangunan yang diterapkan Tiongkok oleh Jokowi tidak sepenuhnya berhasil karena Indonesia belum memiliki “dasar ekonomi” yang kuat sebelumnya. Tiongkok, sebelum membangun infrastruktur, terlebih dahulu membangun sistem ekonomi berbasis pasar, kemampuan produksi, serta pengembangan sumber daya manusia.
“Jokowi langsung membangun infrastruktur, tetapi dasarnya dia tidak memperkuat,” ujar Prof. Sulfikar.
Akibatnya, aktivitas ekonomi yang diharapkan tidak muncul, dan banyak jalan tol, termasuk di Jawa, yang sepi karena harganya tinggi. Hal ini dikatakan sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur yang tidak direncanakan dengan baik dan tidak dihitung secara teknokratik secara teliti.
Diversifikasi: Perlindungan proyek ekstraktif yang menguntungkan Tiongkok
Jokowi memperkenalkan hilirisasi sebagai strategi untuk mempercepat proses industrialisasi guna meningkatkan nilai tambah dan menciptakan kesempatan kerja. Namun, Prof. Sulfikar kembali menyampaikan kritik yang tajam. Model hilirisasi ini, khususnya di sektor nikel, kembali meniru pendekatan Tiongkok.
Prof. Sulfikar mengatakan bahwa program hilirisasi ini sebenarnya merupakan “upaya untuk memperoleh nikel dari Indonesia dengan harga murah,” di mana pabrik-pabrik smelter diundang dari Tiongkok dan menghasilkan polusi di Indonesia, bukan di Tiongkok. Bijih nikel kemudian diproses dan langsung dikirim ke Tiongkok.
“Maka program hilirisasi ini sebenarnya hanya alat pelindung. Pelindung terhadap sistem ekonomi ekstraktif yang lebih besar,” kata Prof. Sulfikar.
Ia menyebutkan bahwa dampak hilirisasi adalah “penambangan mineral yang tidak terkendali, sembarangan, dan merusak lingkungan.” Meskipun demikian, masyarakat setempat di Morowali atau Maluku Utara tetap hidup dalam kemiskinan, sementara sebagian besar keuntungan diekspor.
“Sebenarnya, proyek tersebut adalah hilirisasi yang mana bagian hilirnya berada di Tiongkok,” tegasnya.
Dampak lainnya adalah terbatasnya pengadaan lapangan kerja, dengan hanya sekitar 70.000 pekerjaan yang dihasilkan, jauh dari janji yang menyebutkan jutaan. Bahkan, muncul dugaan adanya pelanggaran berat mengenai bandara khusus di Morowali yang memungkinkan penerbangan langsung dari Tiongkok tanpa pemeriksaan, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang otonomi entitas swasta yang melebihi wewenang negara.
“Hanya sejumlah kecil orang yang mendapat manfaat, jadi mereka yang diuntungkan kembali berada dalam lingkaran oligarki,” ujar Prof. Sulfikar.
Pembicaraan yang tidak jujur dan polos
Prof. Sulfikar juga menyoroti pernyataan Jokowi mengenai AI. Jokowi menyebut “revolusi robot humanoid” sebagai sesuatu yang biasa dan tidak istimewa. Yang lebih memprihatinkan adalah jawaban sederhana Jokowi ketika ditanya apakah AI akan menghilangkan pekerjaan; ia menjawab bahwa tidak, selama anak-anak diajarkan coding, algoritma, dan machine learning. Prof. Sulfikar mengkritik bahwa justru profesi coding itu sendiri bisa tergantikan oleh AI.
Secara keseluruhan, Prof. Sulfikar menganggap pidato Jokowi selama 13 menit hanya fokus pada pencapaian tanpa menyebutkan tantangan atau isu yang muncul.
“Pidatonya tampaknya merupakan usaha untuk menenangkan diri bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah hasil karyanya,” katanya.
Ia juga menunjukkan bahwa data justru mengindikasikan penurunan kualitas demokrasi, turunnya indeks persepsi korupsi (IPK), serta penurunan Logistic Performance Index (LPI) Indonesia selama masa pemerintahan Jokowi.
Ketulusan dan pandangan yang menyeluruh
Sebagai pelajaran, Prof. Sulfikar menekankan bahwa Jokowi “masih belum berani menyampaikan kejujuran mengenai isu-isu yang muncul akibat kepemimpinannya.”
Keterbukaan sangat penting dalam mengevaluasi secara objektif dan memperbaiki kesalahan. Ia juga menegaskan bahwa pidato Jokowi tidak menyampaikan kepentingan nasional Indonesia dengan jelas kepada para investor, serta tidak memberikan gagasan mendasar mengenai cara menghadapi tantangan masa depan seperti lingkungan, tenaga kerja, atau keadilan sosial.
“Tidak ada inti pokok di sana,” kata Prof. Sulfikar, meskipun itu yang diharapkan oleh para investor.
Diskusi ini menyimpulkan bahwa pembangunan yang dilakukan Jokowi, meskipun dianggap sukses, tidak diiringi dengan perencanaan menyeluruh, visi jangka panjang, serta kejujuran dalam menghadapi tantangan yang ada, sehingga manfaatnya tidak dirasakan secara merata oleh masyarakat dan berpotensi merusak lingkungan.



















