Keberpihakan Ahmad Luthfi Melalui Koperasi Buruh

Oleh: Aulia Hakim, Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia/ KSPI Jawa Tengah

PADA peringatan Hari Buruh 2025, Gubernur Ahmad Luthfi meresmikan Koperasi Buruh Jawa Tengah Sejahtera di kawasan industri Kawasan Industri Wijayakusuma (KIW) Semarang. Tujuannya: memberi ‘hadiah’ nyata bagi buruh.

Pemprov Jateng memberikan hadiah berupa koperasi sebagai bentuk penghargaan kepada para buruh yang turut berperan dalam meningkatkan perekonomian daerah.  Barang yang dijual di koperasi tersebut merupakan kebutuhan sehari-hari buruh. Semua bahan akan dibeli langsung dari produsen atau tanpa perantara. Sehingga, harga tetap terjaga atau terjangkau buruh.

Dengan keberadaan koperasi ini, buruh dapat memperoleh akses lebih mudah ke bahan pokok dengan harga lebih terjangkau. Harga lebih murah dan pengadaan langsung dari produsen dapat membantu meringankan beban biaya hidup pekerja.

Ini penting di tengah inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok, serta sebagai pelengkap dari aspek upah minimum, karena koperasi bisa membantu menjaga daya beli buruh.

Dalam konteks upah kecil, koperasi buruh bisa menjadi pelindung sosial ekonomi. Dengan akses bahan pokok murah dan layanan keuangan yang lebih adil, beban hidup pekerja bisa sedikit tertolong.

Koperasi diperkenalkan sebagai ‘koperasi dari buruh, untuk buruh’, artinya, koperasi ini bukan hanya sekadar bisnis, tapi upaya kolektif untuk memperkuat solidaritas.

Dengan model koperasi, buruh memiliki akses terhadap distribusi kebutuhan, mungkin juga pinjaman, simpanan bersama, sehingga kesejahteraan jangka panjang bisa dibangun lewat gotong-royong dan manajemen bersama.

Dengan demikian, langkah ini terasa inklusif, bukan hanya soal upah, tapi juga ‘non-upah’: akses kebutuhan pokok, stabilitas harga, dan solidaritas ekonomi antar pekerja. Bisa jadi bagian dari strategi memperkuat ekonomi kerakyatan dan meredam beban hidup pekerja industri.

Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Provinsi Jawa Tengah, Eddy S Bramiyanto, menyampaikan, pembentukan Koperasi Buruh Jateng Sejahtera merupakan upaya awal Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam menjalankan strategi pemberdayaan ekonomi buruh, yang selaras dengan salah satu program aksi gubernur.

 

Investasi Jateng

Dalam beberapa tahun terakhir, Jawa Tengah semakin meneguhkan posisinya sebagai salah satu destinasi utama investasi di Indonesia. Stabilitas sosial, kemudahan perizinan, serta ketersediaan tenaga kerja dengan biaya kompetitif menjadi daya tarik utama bagi para investor.

Realisasi investasi di Jawa Tengah sepanjang Januari–September 2025 menembus Rp66,13 triliun atau 84,42 persen dari target tahunan. Investasi tersebut menyerap 326.462 tenaga kerja, tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah DKI Jakarta.

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jateng, Sakina Rosellasari mengatakan, capaian itu merupakan akumulasi realisasi triwulan I–III 2025. Pada triwulan III (Juli–September), realisasi investasi mencapai Rp20,55 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 104.089 orang.

Untuk PMA masih didominasi industri alas kaki, kemudian industri karet dan plastik, serta tekstil. Sementara, untuk PMDN didominasi sektor makanan dan minuman. Sektor-sektor tersebut banyak menyerap tenaga kerja. Hal itu terbukti dari serapan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Jateng yang mencapai 326.462 pekerja, tertinggi kedua setelah DKI Jakarta (338.310 pekerja), dan lebih tinggi dibanding Jawa Barat (303.469 pekerja), Jawa Timur (204.796 pekerja), Banten (153.595 pekerja), serta DIY (17.309 pekerja).

Arus investasi ke Jawa Tengah beberapa tahun terakhir menunjukkan tren peningkatan. Pemerintah daerah kerap menegaskan bahwa masuknya modal akan membuka lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, bagi kami di serikat buruh, pernyataan tegas yang tidak boleh diabaikan adalah: investasi tersebut harus benar-benar menghadirkan manfaat bagi masyarakat Jawa Tengah?

Banyak perusahaan baru yang masuk tanpa rekam jejak yang jelas, sementara aspek pengawasan ketenagakerjaan cenderung terabaikan. Masih ditemukan perusahaan yang membayar upah di bawah ketentuan, mengabaikan hak dasar pekerja, bahkan menghindari kewajiban normatif. Ketika aduan dilayangkan kepada pengawas, alasan yang muncul selalu sama: keterbatasan jumlah pengawas. Alasan klasik ini terus berulang dari tahun ke tahun.

Jika penegakan hukumnya lemah, maka investasi sebesar apa pun tidak akan membawa manfaat nyata. Pertumbuhan ekonomi akan menjadi ilusi yang ditopang oleh praktik pelanggaran tenaga kerja. Karena itu, investasi harus dibarengi dengan law enforcement yang kuat, bukan sekadar penyederhanaan izin atau promosi kawasan industri.

Persoalan lain yang kerap luput dari sorotan ialah kondisi tenaga kerja terampil di Jawa Tengah. Pada 2022, pemerintah daerah menyampaikan bahwa Jawa Tengah kekurangan tenaga kerja berskill tinggi. Situasi ini terjadi bukan karena masyarakat tidak mampu mengembangkan kompetensi, melainkan karena pekerja terampil tidak mendapatkan penghargaan yang layak. Ketika skill dihargai rendah, mereka pindah ke daerah lain seperti Karawang, Bekasi, atau Bogor yang memberikan upah dan fasilitas lebih baik. Akibatnya, Jawa Tengah kehilangan sumber daya kompeten yang mestinya menjadi modal penting untuk menarik investasi berkualitas.

Pola pikir lama bahwa ‘ada gula ada semut’ tidak lagi relevan. Investasi tidak otomatis datang hanya karena upah murah. Yang diperlukan adalah “gula” yang benar-benar manis: tenaga kerja berkualitas yang dihargai secara layak, ditopang oleh penegakan hukum ketenagakerjaan yang tegas dan adil.

Karena itu, kami mendorong penguatan law enforcement secara menyeluruh. Tidak cukup hanya mengandalkan pengawas ketenagakerjaan yang jumlahnya terbatas. Penegakan hukum harus melibatkan semua pemangku kepentingan: serikat buruh, aparat kepolisian, imigrasi, kejaksaan pemerintah daerah, dan pengawas ketenagakerjaan itu sendiri. Model penegakan hukum kolaboratif ini penting agar pelanggaran dapat diminimalkan dan investasi yang masuk benar-benar membawa dampak positif.

Kita melihat sendiri, ketika kawasan industri di Kendal maupun Jepara menerima gelombang investor, muncul kasus perusahaan yang membayar upah di bawah ketentuan. Serikat pekerja di tingkat pabrik enggan melapor karena khawatir terjadi intimidasi. Situasi ini membuktikan bahwa pekerja masih berada dalam posisi lemah meskipun mereka berperan sebagai penggerak utama industri.

Investasi pada dasarnya tidak pernah kami tolak. Namun investasi hanya dapat diterima jika memberikan manfaat bagi masyarakat Jawa Tengah, bukan sekadar memperbesar akumulasi modal. Fasilitas investasi harus diiringi dengan peningkatan kualitas tenaga kerja, penghargaan pada kompetensi, dan penegakan hukum yang konsisten. Tanpa itu semua, arus investasi hanya akan menjadi beban baru yang memperparah persoalan ketenagakerjaan di daerah.

Jawa Tengah harus siap, bukan hanya menjadi wilayah yang ‘dibanjiri’ investasi, tetapi juga wilayah yang mampu memastikan bahwa setiap investasi memberikan nilai tambah, keadilan, dan kesejahteraan bagi para pekerjanya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *