
Dalam dunia ekonomi, angka-angka sering kali terlihat sebagai penentu segalanya. Grafik pertumbuhan PDB, inflasi, nilai tukar, hingga tingkat pengangguran seolah menjadi kompas yang menunjukkan ke mana arah perekonomian bergerak. Namun di balik barisan angka yang tampak objektif itu, ada faktor yang jauh lebih halus, tetapi sangat menentukan: ekspektasi.
Ekspektasi adalah harapan dan keyakinan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Keputusan ekonomi diambil bukan hanya berdasarkan kondisi hari ini, melainkan berdasarkan bayangan kita tentang esok. Karena itu, ekonomi pada hakikatnya bukan hanya tentang angka, melainkan juga tentang kepercayaan.
Teori konsumsi menjelaskan bahwa masyarakat membelanjakan uang berdasarkan pendapatan yang mereka yakini akan mereka peroleh, bukan hanya pendapatan yang ada saat ini. Hal itu terbukti di Indonesia. Saat pandemi Covid-19 mereda dan aktivitas ekonomi mulai dibuka kembali, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia langsung melonjak. Restoran kembali ramai, mal dipadati pembeli, dan penjualan kendaraan bermotor menunjukkan pemulihan. Semua dipicu oleh keyakinan bahwa keadaan akan membaik.

Namun sebaliknya, ketika berita soal kenaikan harga pangan, ancaman resesi global, atau pelemahan rupiah semakin nyaring, banyak keluarga mulai menekan pengeluaran. Optimisme turun, konsumsi pun ikut melambat. Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% perekonomian Indonesia. Singkatnya: seberapa kita berani belanja, sebanyak itu pula ekonomi bergerak.
Di sisi lain, pelaku usaha juga mengambil keputusan berdasarkan ekspektasi mereka terhadap permintaan masa depan. Misalnya: ketika pemerintah menjamin stabilitas ekonomi pasca-krisis keuangan global, investasi pada sektor manufaktur dan infrastruktur di Indonesia meningkat. Sebaliknya, menjelang tahun politik, banyak sektor menahan ekspansi karena khawatir akan ketidakpastian arah kebijakan. Indonesia punya banyak pengalaman tentang bagaimana perubahan sentimen bisnis bisa mempercepat atau menghambat penciptaan lapangan kerja.
Pengaruh ekspektasi terlihat paling jelas pada inflasi. Ekspektasi inflasi memainkan peran besar dalam stabilitas harga. Di Indonesia, pemerintah dan Bank Indonesia selalu berhati-hati menangani kabar soal harga BBM.

Sebab, begitu masyarakat percaya harga BBM akan naik: antrean mengular di SPBU, pedagang menaikkan harga duluan, dan inflasi meledak lebih cepat daripada kebijakan resmi. Ekspektasi negatif bisa menciptakan masalah baru sebelum masalah yang sebenarnya muncul. Karena itulah komunikasi yang jelas dari pemerintah sangat penting dalam meredam kecemasan publik.
Tidak hanya di pasar barang, sentimen juga menjadi hukum besi di pasar keuangan. Tidak ada panggung ekspektasi yang lebih dramatis dari pasar keuangan. Contohnya: ketika Indonesia naik peringkat investasi, modal asing masuk deras, IHSG terbang tinggi. Namun pada saat muncul isu global, seperti tapering The Fed, pasar Indonesia bisa jatuh hanya karena investor cemas. Artinya, sentimen bisa menjadi penentu arus modal asing yang masuk ke Indonesia, lebih cepat daripada kebijakan apa pun.
Kita punya sejarah nyata tentang kehancuran ekspektasi: Krisis Moneter 1998. Di periode itu, kepercayaan publik terhadap pemerintah runtuh. Bank-bank dilanda rush. Rupiah terjun bebas. Harga naik tanpa kendali. Perekonomian bukan hanya jatuh karena masalah teknis, melainkan karena kepercayaan hilang. Kita belajar bahwa kebijakan ekonomi yang baik tidak cukup tanpa keyakinan masyarakat.

Pelajaran itu berlaku hingga hari ini. Ekspektasi publik terhadap pemerintah dan bank sentral memengaruhi arah ekonomi. Ketika komunikasi kebijakan jelas dan kredibel: investor lebih tenang, pelaku usaha berani berekspansi, dan masyarakat yakin untuk belanja.
Namun jika kebijakan berubah-ubah tanpa arah yang pasti, pelaku ekonomi akan menunggu dan perekonomian pun melambat. Dengan kata lain: mengelola narasi sama pentingnya dengan mengelola anggaran.
Maka pada akhirnya, inti persoalan ekonomi sering berada pada ranah psikologis. John Maynard Keynes menyebut bahwa keputusan ekonomi sering digerakkan oleh animal spirits: emosi, keberanian, dan optimisme. Ekspektasi bukan sekadar prediksi, melainkan energi yang menggerakkan konsumsi, investasi, dan kebijakan.
Di Indonesia, setiap kali masyarakat optimis, ekonomi melaju. Setiap kali rasa takut merebak, ekonomi tersendat. Sebelum ekonomi pulih di data, ia harus pulih di benak kita dulu.
Di tengah ketidakpastian global saat ini, tugas besar pemerintah tidak hanya memperbaiki indikator ekonomi, tetapi juga membangun kepercayaan bahwa masa depan Indonesia masih layak diperjuangkan. Karena harapan—pada akhirnya—adalah mata uang paling kuat yang kita miliki. Mungkin inilah alasan di balik langkah-langkah yang ditempuh oleh Menkeu Purbaya saat ini: membangun optimisme dan keyakinan agar target pertumbuhan ekonomi 8%; bukan sekadar angka, melainkan harapan yang bisa diwujudkan bersama.



















