Perjalanan ke Osaka: Mengingat Masa Lalu dengan Tenang
Pagi menjelang siang itu, kami memulai pengembaraan di Osaka. Kota terbesar di kawasan Kansai ini bukan pertama kali kami kunjungi, dan bagi kami, kota ini sering terasa seperti buku harian yang belum selesai ditulis. Kali ini, kota ini seolah membalik halamannya sendiri, menunggu cerita baru untuk ditulis.
Tujuan kami pagi itu cukup sederhana: berjalan ke kawasan pelabuhan, melihat laut, dan mungkin—jika semesta berbaik hati—mengulang sedikit dari masa yang pernah lewat. Kami memesan taksi online Go, mungkin Gojek atau Grab versi Jepang, perjalanan ke stasiun hanya singkat sekitar lima menit. Tiba di Stasiun Nishinakajima, kami berfoto sejenak di pintu masuk yang tepat berada di bawah jalan layang, lalu membeli tiket sakti: Osaka One-Day Pass. Rasanya seperti membeli hari penuh mobilitas, tanpa perlu lagi membeli tiket setiap mau naik kereta.
Kami kembali naik Midosuji, Line menuju Namba dan bergerak bersama arus penumpang pagi yang cukup padat. Dua stasiun sebelum Namba, kami pindah di Stasiun Hommachi dan kemudian naik Chuo Line yang warnanya hijau ke ujung kota, menuju pelabuhan. Dan setelah hampir 40 menit, kami tiba di stasiun Osakako.
Cukup berjalan mengikuti petunjuk arah ke Osaka Aquarium atau Kaiyukan: lumayan jauh dan di dalam stasiun ternyata sudah ada dekorasi Natal walau November baru akan berakhir. Juga ada vending machine yang menjual es krim yang sangat menyegarkan di siang hari yang hangat walau udara Osaka cukup sejuk. Harganya 700 Yen saja. Dan bayarnya pun selain cash bisa dengan pasmo card yang saya beli di Tokyo beberapa tahun lalu.
Menuju exit no 2, ada papan petunjuk berisi nama-nama tempat wisata: Kaiyukan, Tempozan Ferris Wheel, Captain Line, LEGOLAND Discovery Center. Semua panah menunjuk satu arah, seperti hidup yang kadang terlihat mudah jika hanya dilihat di papan petunjuk. Di ujung juga tersedia lift untuk turun ke permukaan jalan.
Begitu keluar dari Stasiun Osakako, udara berubah. Tidak terlalu dingin, tapi cukup untuk membuat tangan masuk ke balik jaket atau saku. Sekitar 75 meter dari stasiun, ada sebuah pos polisi kecil berdiri. Saya tidak tahu mengapa pos polisi kecil itu selalu tampak ramah di Jepang. Di halamannya, ada deretan sepeda yang terparkir rapi, rupanya para polisi ini sering berkeliling dengan naik sepeda.
Kami sempat berfoto di depan tulisan “Welcome to Osaka”. Tulisan itu besar, penuh warna, seperti sambutan untuk pelaut yang pulang dari perjalanan panjang. Padahal kami hanya datang dari apartemen. Tapi tidak apa-apa. Hidup selalu lebih indah jika sedikit dilebih-lebihkan.
Kami lalu memesan taksi daring lagi, perjalanan singkat menuju pusat keramaian akuarium. Sopir berhenti dekat lift di dekat tempat parkir. Dari situ, kami naik ke area plaza terbuka tempat banyak orang berkumpul dan berfoto dengan tulisan “Osaka Aquarius Kaiyukan.” Kami sempat berfoto bersama dengan latar belakang relief ikan raksasa di dinding.
Di arah lain, ada roda raksasa Tempozan Ferris Wheel yang berdiri seperti tiang bendera raksasa yang menolak tunduk kepada angin laut. Saya selalu menamakan roda wheel ini dengan sebutan bianglala sesuai namanya di Dunia Fantasi.
Tempozan: Antrean, Kenangan, dan Keputusan Bijak untuk Tidak Masuk
Roda itu tinggi sekali, setinggi ingatan yang tiba-tiba kembali. Sekitar dua puluh tahun lalu, kami datang ke sini juga. Waktu itu, anak-anak masih kecil—tiga dari mereka. Sekarang hanya dua yang ikut. Anak-anak tumbuh dan liburan keluarga berubah formasi seperti susunan pemain sepak bola: kadang tidak lengkap, tapi tetap bermain penuh semangat walau tidak lengkap lagi. Dulu kamu terbang langsung dari Sapporo menuju Osaka.
Kaiyukan Aquarium, atau Osakarium seperti beberapa orang menyebutnya, adalah bangunan besar seperti kapal futuristik. Di dalamnya ada paus besar, hiu, ubur-ubur, dan semua yang berenang elegan tanpa peduli ekonomi global. Saya ingat dulu masuk ke sana, melihat ikan pari melintas seperti benda asing dari masa depan. Hari ini, kami ingin mengulang itu. Setidaknya, kami pikir begitu. Sampai melihat antreannya. Ada dua jalur antrean, mereka yang sudah membeli tiket daring dan yang belum. Keduanya lumayan panjang, walau yang belum punya tiket lebih panjang. Kamu coba membuka aplikasi membeli tiket online yang ternyata sudah habis untuk hari ini.
Kami memutuskan tidak masuk.
Keputusan itu terasa ringan, elegan, sedikit kocak. Kita selalu ingin mengulang masa lalu, tapi kadang semesta mengingatkan dengan hal sederhana: antrean beberapa jam. Mungkin kenangan memang lebih baik dibiarkan hidup sebagai kenangan. Kalau terlalu dikejar, ia bisa kelelahan.
Marketplace dan Terminal Ferry
Kami berbelok ke marketplace di sisi lain plaza terbuka ini. Suasananya mirip mal besar. Di dalamnya ada banyak toko pernak-pernik, souvenir, dan juga pakaian. Lengkap dengan bermacam restoran dan tempat santai.
Setelah sejenak melihat-lihat market place yang mirip mal ini, kamu memutuskan melihat terminal ferry. Di sana ada informasi dan sekilas sejarah Santa Maria, kapal besar bergaya Spanyol, yang sekilas tampak seperti perahu dari cerita novel petualangan. Kapal itu menawarkan tur pelabuhan. Ada juga ferry ke Universal Studios Japan, mengingatkan kami pada perjalanan sekitar dua dasawarsa lalu, ketika kaki terasa lebih ringan dan dunia masih lebih ramah. Maklum usia masih lebih muda.
Kami tidak naik kapal. Tidak perlu. Kamu kesini memang hanya ingin kembali melihat perjalanan dulu. Cukup kembali melihat-lihat perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang itu. Cukup dilihat, difoto, dibiarkan menjadi kenangan dan rasa penasaran kecil untuk masa depan. Bukankah begitu kita hidup? Memilih dengan sadar mana yang ingin dilakukan dan mana yang cukup dikenang saja.
Lucua: Sushi, Lampu Malam, dan Ritme Perjalanan yang Tenang
Kamu tidak langsung pulang ke apartemen, setelah transfer di Hommachi kali ini kami turun di Uneda yang kebetulan menjadi satu dengan Osaka Station dan banyak pusat perbelanjaan dan kuliner.
Umeda menyambut kami dengan cahaya terang yang hampir berlebihan. Di Lucua, mal besar yang ramai, kami berhenti di sebuah restoran sushi. Tempatnya ramai tapi tidak gaduh. Piring-piring kecil disajikan di depan kami seolah siap untuk disantap. Menu pun tersedia dalam bahasa Inggris walau pelayannya hanya bisa bahasa Jepang.
Kedua anak makan dengan ritme cepat, seperti sedang mengejar kereta yang tidak ada. Setelah makan, mereka izin untuk melihat-lihat dan berbelanja. Kami berdua pulang lebih dulu ke apartemen. Mungkin begitulah hidup sekarang: anak-anak berjalan lebih jauh, dan kami tidak harus selalu menyusul.
Menutup Hari: Osaka dan Waktu yang Tidak Perlu Dikejar
Osaka malam itu tidak berubah banyak dari dua puluh tahun lalu. Yang berubah adalah kami, dan cara kami mengingat. Hari itu tidak spektakuler. Tapi justru di situlah letak keindahannya: perjalanan yang tidak dipaksa untuk menjadi luar biasa.
Kami hanya melihat, berjalan sedikit, membeli es krim, tidak masuk ke akuarium, tidak naik kapal, makan sushi, dan pulang lebih dulu. Tapi semua itu terasa cukup. Seperti hidup yang berjalan dengan ritmenya sendiri, tidak tergesa, tidak harus mengulang apa pun.
Osaka tetap Osaka. Kami tetap kami. Dan ingatan tidak perlu disalin ulang untuk bisa terus hidup. Kadang, cukup duduk di kereta pulang sambil berkata pelan dalam hati, “Kita pernah ke sini, dan kita masih ada di sini.”
Dan itu sudah lebih dari cukup.


















