Wisata Kecil di Pasar Cihapit

Pada hari Rabu pukul 10.00, sebuah pesan singkat terkirim pada teman saya, Daffa. “Antar saya ke Pasar Cihapit,” tulis saya, yang kemudian hanya dibalas emoticon dan stiker andalannya balasan ringkas yang justru sudah menjadi bahasa keakraban kami. Tanpa pikir panjang, saya meraih handuk dan bersiap mandi. Tepat pukul 13.00, saya bertemu dengan Daffa, lengkap dengan satu kawan lain, Alghi. Kami bertiga segera berangkat menuju Pasar Cihapit, sebuah pasar yang kerap disebut Daffa bukan sekadar pasar, melainkan ruang kehidupan yang bergerak, tumbuh, dan berbaur.

“Pasar Cihapit bukan sekadar pasar, di dalamnya masih banyak kehidupan yang seru,” ucap Daffa sesaat setelah kami selesai parkir. Kami berjalan berlawanan arah dengan pintu masuk utama. “Loh kamu mau bawa kita ke mana?” tanya saya. “Udah, ikutin aja. Nanti juga tahu kok,” jawabnya ringan. Gang semakin menyempit, aroma bakmi rebus menyelinap dari celah-celah kios, udara penuh campuran wangi kaldu, bawang, dan gula manisan. Pandangan saya berhenti pada sebuah toko manisan yang penuh warna dan memori masa kecil. Tak lama, kami berbelok, dan sebuah papan nama muncul: Zine Lala Lili. “Menarik,” gumam saya. Saat melangkah masuk, sambutan hangat Mbak Dinda langsung memecah rasa asing ruang. Ruangan kecil itu tak berhenti menghadirkan visual seperti poster, cetakan tangan, ilustrasi, zine beraneka rupa, warna, dan keberanian.

Nama ruang tersebut adalah Berkawan Sekebun, sebuah pilih kata yang mereka maknai sebagai kebun karya, tempat tumbuhnya ide, medium, eksperimen, dan tulisan teman-teman kreatif. Di balik pengelolaannya ada Mbak Dinda, Lanof, dan Kang Taos, yang kerap disebut sebagai pawang kebun. Walaupun tempatnya tak besar, warnanya justru melimpah: dari kertas bekas yang dicetak ulang, fotokopian hitam putih, hingga karya dengan sampul eksperimental. Kendati berdiri baru sejak Februari 2024, karakter dan corak ruang ini sudah terasa matang sebagai ruang alternatif. Karya di dalamnya disebut zine, medium yang lahir dari kultur penggemar fiksi ilmiah dan subkultur independen. Jika media arus utama menawarkan pilihan A atau B, zine justru membuka pintu lain: C, D, X, bahkan Z. Tidak ada benar, salah, atau konklusi mutlak. Menurut Mbak Dinda, zine adalah medium alternatif, ruang eksperimentasi dan riset personal, tempat ekspresi menjadi alat aktualisasi diri. “Tantangan terbesar itu sebenarnya memperkenalkan zine dan seberapa eksperimental ia bisa hadir,” ujarnya.

Bagi Daffa, salah satu kawan kebun yang menitipkan zinenya, Berkawan Sekebun adalah rumah bagi karyanya. Ruang itu mengizinkan ide tumbuh tanpa tekanan publikasi formal. Kepada saya dan Alghi, ia mengaku tak pernah menemukan ruang penerimaan setenang ini. Mas Taos menambahkan bahwa zine masuk ke Bandung sekitar era 1995, kala itu merambat lewat majalah skena. “Zine itu milik orang-orang yang berani dan jujur,” ujarnya. Banyak zine berangkat dari trauma, memori, dan pengalaman yang terlalu personal untuk dikemas dalam format buku biasa. Membaca zine seringkali seperti menebak: yang tersirat lebih luas daripada yang tercetak. Namun ketika bertemu penulisnya, makna bisa berubah arah.

“Kami tidak memaksa siapa pun yang datang harus membuat zine, tapi kami menyambut siapa pun untuk menikmati karya,” lanjut Taos. Ia menunjukkan salah satu karya zinenya, dicetak dari tulisan tangan, difotokopi, lalu dilipat empat. Membahas kematian dengan simbol daun, mimpi personal, dan metafora yang hanya bisa diurai oleh ketenangan. “Dalam mimpi saya, kematian dan daun itu saling berkaitan,” tuturnya. Bagi saya yang tidak terlalu akrab dengan dunia seni visual, ruang ini justru menghadirkan pengalaman lain: wisata yang tak mengandalkan lanskap, gunung, atau pantai, melainkan ruang ide. Zine mengandung cerita yang ditahan, kata yang tak terucap, atau masa lalu yang memilih bersembunyi dalam lipatan kertas.

Pukul 14.00, kami kembali menyusuri Pasar Cihapit. Pasar ini bukan sekadar pasar basah; ia telah menjadi lanskap kreatif yang dihuni kuliner, toko visual, kolektif seni, dan ruang berbagi. Di antara banyaknya toko, Zine Lala Lili menjadi titik paling nyentrik suguhan warna, tekstur, dan simbol memancing tanya bagi siapa pun yang melintas. Bagi teman-teman yang ingin berkarya dan menampilkan karya seni secara independen, Berkawan Sekebun menjadi ruang aman. Instagram mereka, @berkawansekebun, berfungsi sebagai etalase kegiatan kebun—pameran, workshop, obrolan publik, hingga unggahan spontan keramaian pengunjung. Mbak Dinda, pawang kebun, kerap terlihat memandu workshop, menjadi pembicara, atau sekadar menyambut pengunjung baru dengan gestur hangat.

Tulisan dan karya visual memiliki kekuatan sendiri, dan Berkawan Sekebun tak jarang ikut menyuarakan sikap dan solidaritas mereka melalui unggahan. Aktivitas mereka lebih hidup di Instagram Story—potongan waktu, percakapan, dan pengunjung yang singgah. Ketika saya tiba, rasa canggung sempat muncul, tetapi hilang seketika karena sambutan ramah. Saya bahkan diizinkan memotret karya, mengambil gambar, dan sedikit berbincang layaknya kawan lama. Zine membuat saya memahami bahwa medium alternatif bukan sekadar pilihan estetika, tetapi kebutuhan eksistensial. Ada cerita yang tak ingin melewati editor, tak ingin diseleksi, tak ingin diubah menjadi komoditas. Ada memori, kehilangan, luka, kegembiraan, dan proses penyembuhan yang ingin hadir sebagaimana adanya. Dalam kebun kecil di sudut Pasar Cihapit itu, karya bukan sekadar produk—ia adalah napas.

Jika banyak wisatawan mencari puncak, pantai, atau air terjun, barangkali sebagian lain bisa menemukan keteduhan lain: ruang kecil berisi kertas terlipat, tinta fotokopi, dan keberanian untuk berkata jujur. Di Berkawan Sekebun, seni bukan panggung; ia meja kecil, tumpukan kertas, dan kursi yang menunggu siapa pun untuk duduk dan membaca. Namun, kehadiran ruang seperti Berkawan Sekebun sejatinya bukan sekadar pemanis tren kreatif Bandung. Ia adalah bukti bahwa kota ini masih membuka ruang bagi produksi wacana independen, sesuatu yang perlahan mulai terkikis oleh komersialisasi pameran dan estetika media sosial yang serba siap tampil. Di tempat ini, karya justru jauh dari tuntutan relevansi algoritma. Tidak ada dorongan untuk viral, tidak ada gagap mengejar eksposur. Karya hadir karena keinginan untuk tumbuh, bukan untuk dijual secara agresif atau dipasarkan dalam skala besar. Setidaknya, itulah kesan yang melekat setelah saya mengamati percakapan antarpengunjung dan cara mereka memegang zine, membaliknya perlahan, seolah setiap halaman menandai potongan pengalaman hidup seseorang.

Sebelum meninggalkan kios, saya memperhatikan kembali detail ruang: kursi kecil dari kayu, rak besi dengan cat yang mulai pudar, poster dengan warna neon yang tertempel tanpa pola namun memiliki harmoni visual yang khas. Tidak ada konsep kuratorial yang kaku, tetapi ritmenya terbangun secara organik oleh barang-barang yang diletakkan tanpa ambisi monumental. Di dekat pintu, ada stiker, kartu pos, dan potongan kertas yang sengaja disusun seperti serpihan cerita. Ruang itu seperti berbicara melalui benda-benda, bukan melalui tata letak yang diatur secara teoretis. Usai keluar dari gang, kembali menuju jalan utama Pasar Cihapit, suasana terasa berbeda meskipun langkah kami tak berubah arah. Lampu toko, riuh pedagang, aroma rempah yang menempel di udara—semua terasa lebih kuat, mungkin karena pikiran saya masih tertahan di ruang kecil tadi. Daffa, yang sejak awal menjadi pemandu dadakan, menepuk pundak saya dan berkata, “Nah, paham kan kenapa tadi gue bilang bukan sekadar pasar?” Saya hanya mengangguk. Ada perasaan tenang yang sulit dijelaskan, semacam afirmasi bahwa ruang kreatif tak selalu harus besar untuk berdampak.

Bandung, dalam konteks ini, seolah mengingatkan bahwa kreativitas tidak lahir dari panggung megah semata. Kadang ia tumbuh dari kertas bekas yang dilipat empat, dari mesin fotokopi yang mengeluarkan bunyi kasar, dari cerita personal yang dahulu tak punya ruang untuk bersuara. Berkawan Sekebun memberi suaka bagi keberanian itu berani jujur, berani tampak rapuh, dan berani tidak sempurna.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *