Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan peninjauan kebijakan imigrasi terhadap warga dari 19 negara setelah serangan terhadap dua anggota Garda Nasional di Washington D.C. Insiden ini memicu reaksi cepat dari pemerintah dan menimbulkan perdebatan tentang keamanan nasional serta kewarganegaraan.
Insiden penembakan terjadi pada hari Rabu (19/11) di dekat Gedung Putih. Seorang warga Afghanistan, Rahmanullah Lakanwal, menembak dua anggota Garda Nasional, salah satunya tewas dan yang lainnya kritis. Lakanwal, yang sebelumnya bekerja dengan militer AS di Afganistan, kini ditahan dan menjalani perawatan medis. FBI sedang menyelidiki motif serangan tersebut, sementara jaksa agung berencana menuntut tersangka dengan tuduhan terorisme.
Setelah insiden tersebut, pemerintahan Trump langsung memerintahkan peninjauan ulang terhadap status penduduk tetap imigran dari 19 negara. Daftar tersebut mencakup Afganistan, Iran, Somalia, Libya, Yaman, Kuba, Venezuela, Chad, dan Eritrea. Direktur Layanan Kewarganegaraan dan Imigrasi AS, Joseph Edlow, menyatakan bahwa semua pemegang kartu hijau dari negara-negara tersebut akan diperiksa secara ketat.
Trump juga mengumumkan rencana untuk menghentikan migrasi permanen dari negara-negara dunia ketiga. Ia menulis dalam unggahan media sosialnya bahwa kebijakan tersebut bertujuan untuk “memungkinkan sistem Amerika Serikat pulih sepenuhnya.” Namun, langkah ini telah dikritik oleh banyak pihak karena dinilai diskriminatif dan tidak adil terhadap ratusan ribu penduduk tetap yang sah.
Para kritikus memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa berdampak besar bagi warga asing yang sudah tinggal lama di AS. Mereka khawatir peninjauan akan mengarah pada pencabutan status atau deportasi tanpa dasar hukum yang jelas. Meski begitu, pemerintah menyatakan bahwa tindakan ini adalah bagian dari upaya perlindungan keamanan nasional.
Pengetatan kebijakan imigrasi bukanlah hal baru di masa jabatan Trump. Selama ini, ia terkenal dengan pendekatan keras terhadap imigran ilegal. Operasi penangkapan massal oleh Badan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) sering dikritik oleh kelompok hak asasi manusia. Namun, Trump tetap bersikeras bahwa kebijakan tersebut diperlukan untuk menjaga keamanan negara.
Kasus penembakan di Washington D.C. memberi ruang bagi Trump untuk kembali menekankan isu reformasi imigrasi. Meski tersangka justru mendapatkan status suaka di bawah pemerintahan Trump, insiden ini digunakan sebagai alasan untuk memperketat aturan. Pemerintah juga menghentikan sementara pemrosesan aplikasi imigrasi dari Afghanistan.
Sementara itu, keluarga korban masih berduka atas tragedi yang terjadi. Gary Beckstrom, ayah dari Sarah Beckstrom, mengatakan bahwa keluarganya “menghadapi tragedi yang tak terbayangkan.” Reaksi publik terhadap kebijakan baru ini masih beragam, dengan beberapa pihak mendukung langkah pemerintah sementara yang lain mengecamnya sebagai diskriminatif.
Analisis ringan menunjukkan bahwa kebijakan ini bisa memengaruhi stabilitas sosial dan ekonomi AS. Banyak imigran dari negara-negara yang ditinjau berkontribusi besar terhadap ekonomi negara. Peninjauan yang tidak jelas akibatnya bisa menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat dan bisnis.
Meskipun pemerintah menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk keamanan nasional, banyak ahli mempertanyakan efektivitasnya. Mereka berpendapat bahwa penghapusan migrasi dari negara tertentu tidak akan menghentikan ancaman keamanan, melainkan hanya memperburuk hubungan internasional.
Pemantauan terhadap perkembangan kasus ini sangat penting. Masyarakat menantikan keputusan resmi dari pemerintah mengenai dampak kebijakan baru ini. Jika peninjauan berujung pada pencabutan status atau deportasi, maka akan ada dampak luas bagi warga asing dan komunitas mereka.
Dalam waktu dekat, pemerintah kemungkinan akan memberikan penjelasan lebih lanjut tentang proses peninjauan dan rencana kebijakan imigrasi selanjutnya. Sementara itu, para pengamat tetap mengawasi situasi ini dengan cermat.


