Jakarta, CNBC Indonesia – Di tengah situasi ekonomi yang semakin memprihatinkan, kritik pedas dari netizen terhadap para influencer yang terus membagikan konten flexing (pamer kekayaan) muncul sebagai respons terhadap ketidakseimbangan sosial. Fenomena ini menimbulkan perdebatan tentang etika dan tanggung jawab media sosial, terutama saat masyarakat sedang menghadapi tekanan finansial.
Fakta Utama
Pada akhir 2022, sejumlah pengguna media sosial mulai menyuarakan ketidakpuasan terhadap konten-konten yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini. Para netizen mengkritik influencer yang terus memperlihatkan gaya hidup mewah meskipun banyak orang di luar sana sedang berjuang untuk bertahan hidup.
Seiring dengan penurunan daya beli dan ancaman resesi, beberapa konten flexing dianggap tidak sensitif. Contohnya, video-video yang menampilkan mobil mewah, perjalanan mewah, atau pengeluaran besar sering kali menuai komentar negatif dari netizen.
Konfirmasi & Narasi Tambahan
Menurut Dr. Silvi Aris Arlinda, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Slamet Riyadi, fenomena flexing bisa menjadi cerminan krisis identitas digital. “Banyak pengguna media sosial membangun persona yang jauh dari realitas mereka. Identitas digital menjadi ‘topeng’ untuk mendapatkan pengakuan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa dalam konteks ekonomi yang sulit, pamer kekayaan bisa memicu rasa iri dan ketidaksetaraan. “Netizen merasa bahwa konten tersebut tidak sesuai dengan realitas yang sedang dialami oleh banyak orang,” tambahnya.
Sementara itu, salah satu netizen, Andi Pratama, mengatakan bahwa ia merasa tidak nyaman melihat konten-konten seperti itu. “Aku sedang mencari cara untuk menghemat pengeluaran, tapi terus-menerus melihat orang lain menikmati kehidupan mewah membuatku merasa lebih miskin,” ujarnya.
[IMAGE: Netizen Kritik Konten Flexing Influencer]
Analisis Konteks
Di tengah resesi, netizen menginginkan konten yang lebih realistis dan bermanfaat. Banyak dari mereka berharap influencer dapat memberikan edukasi atau inspirasi, bukan sekadar menunjukkan kemewahan. Dalam hal ini, ada tuntutan untuk lebih peka terhadap situasi sosial dan ekonomi yang sedang terjadi.
Selain itu, kasus pembatasan konten flexing di China juga menjadi perhatian. Pemerintah China melarang influencer untuk memamerkan kekayaan karena dianggap mempromosikan nilai-nilai buruk dan memperdalam kesenjangan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa isu flexing tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga menjadi masalah global.
Data Pendukung
Menurut data Bank Indonesia, inflasi pada 2022 mencapai angka yang tinggi, yaitu 5,3% pada Agustus 2022. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi global diprediksi hanya 2,9% pada 2022, menurut IMF. Angka-angka ini menunjukkan bahwa situasi ekonomi saat ini sangat rentan.
Selain itu, jumlah PHK di sektor teknologi dan startup meningkat pesat. Menurut laporan dari Kementerian Investasi, sekitar 10.000 pekerja di sektor teknologi diindikasikan mengalami pemutusan hubungan kerja pada tahun 2022. Hal ini memperkuat tren bahwa masyarakat sedang menghadapi tantangan ekonomi yang signifikan.
