Abdur Rauf Singkel, atau yang dikenal juga dengan nama Syekh Abdurrauf al-Singkili, adalah seorang ulama besar dari Aceh yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Ia lahir pada tahun 1615 di Fansur, Singkel, Aceh. Ayahnya, Syekh Ali, adalah seorang ulama yang terkenal. Dari kecil, ia telah menunjukkan ketertarikan terhadap ilmu agama dan pendidikan. Pendidikan pertamanya diperoleh di kampung halamannya sendiri sebelum akhirnya melanjutkan studi ke Banda Aceh.
Pada usia 27 tahun, ia berangkat ke Jazirah Arab untuk melanjutkan pendidikannya. Selama 19 tahun tinggal di tanah suci, ia menghabiskan waktu untuk belajar agama dan Sufisme. Rute perjalanannya mencakup beberapa kota penting seperti Dhuha (Doha), Yaman, Jeddah, Makkah, dan Madinah. Di sana, ia berguru kepada para ulama ternama seperti Ahmad al-Qusyasyi dan Mulla Ibrahim al-Kurani. Pengalaman ini sangat memengaruhi pemikiran dan konsep tasawuf yang kemudian ia kembangkan.
Setelah pulang ke Nusantara, ia menjadi salah satu tokoh utama dalam pengembangan tarekat Shaṭāriyyah. Ia tidak hanya menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga memperkenalkan tarekat ini ke berbagai wilayah di dunia Melayu-Nusantara. Karya-karyanya yang banyak ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab menjadi dasar bagi pengembangan pemikiran keagamaan di masa itu.
Salah satu karya terpentingnya adalah Tafsir Turjumun al-Mustafid, yang merupakan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Melayu. Ini menjadi langkah penting dalam memperluas akses masyarakat terhadap kitab suci. Selain itu, ia juga menulis berbagai kitab tentang fiqh, tasawuf, dan hadis. Kitab-kitab tersebut membantu pengembangan pendidikan Islam di Nusantara.
Selain sebagai ulama, ia juga menjabat sebagai mufti kerajaan Aceh. Meskipun kesibukannya, ia tetap produktif dalam menulis dan mengajar. Murid-muridnya berasal dari berbagai daerah, termasuk Pariaman, Tasikmalaya, Trengganu, dan Aceh. Melalui mereka, ajaran Islam dan tarekat Shaṭāriyyah semakin menyebar luas.
Peran Abdur Rauf Singkel dalam pendidikan dan keagamaan sangat signifikan. Ia tidak hanya menjadi guru, tetapi juga figur yang menginspirasi banyak orang. Konsep tasawufnya yang menggabungkan antara eksoteris dan esoteris menjadi dasar bagi perkembangan spiritualitas Islam di Nusantara. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang menjembatani perbedaan pandangan antara pengikut Hamzah Fansuri dan Nur al-Din al-Raniry.
Kehidupannya yang penuh perjuangan dan dedikasi membuatnya layak disebut sebagai pahlawan nasional. Ia meninggal pada tahun 1693 di usia 78 tahun. Makamnya terletak di Deah Raya, sekitar 15 kilometer dari Banda Aceh. Tempat ini menjadi tempat ziarah bagi banyak umat Muslim yang ingin mengenang jasa-jasanya.
Sebagai seorang ulama, ia memberikan kontribusi besar dalam pendidikan dan pengembangan keagamaan di Nusantara. Karya-karyanya masih dipelajari hingga saat ini, dan nilai-nilai yang ia ajarkan tetap relevan. Dengan mengenang perjuangan dan karya-karyanya, kita dapat belajar lebih dalam tentang sejarah Islam di Indonesia dan pentingnya peran para ulama dalam pembentukan identitas bangsa.
