Parlemen Quebec Kanada Melarang Doa Publik di Sekolah: Konteks dan Dampaknya

Pada awal 2024, Parlemen Quebec Kanada mengumumkan rencana untuk melarang doa publik di sekolah-sekolah. Keputusan ini memicu perdebatan luas terkait hak kebebasan beragama dan kebebasan ekspresi. Langkah ini dilakukan dalam konteks yang kompleks, dengan alasan utama adalah menjaga prinsip sekularisme dan menghindari konflik antarumat beragama.

Peraturan tersebut diusulkan oleh Menteri Kehakiman Quebec, Jean-François Roberge, yang menyatakan bahwa “kebangkitan doa jalanan” di Montreal dan daerah lain di Quebec menjadi masalah serius. Meski belum sepenuhnya dirancang, langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah provinsi untuk memperkuat sekularisme dalam sistem pendidikan.

Dalam konteks hukum Kanada, Piagam Hak dan Kebebasan Kanada (Charter of Rights and Freedoms) memberikan perlindungan bagi kebebasan beragama dan ekspresi. Namun, klausul meskipun (notwithstanding clause) memungkinkan pemerintah provinsi untuk mengesampingkan sebagian dari piagam selama lima tahun, jika diperlukan. Quebec telah menggunakan klausul ini sebelumnya, seperti dalam pengesahan RUU 21 yang melarang simbol agama di tempat kerja publik.

Para aktivis kebebasan sipil mengkritik kebijakan ini, dengan alasan bahwa larangan doa publik dapat mengancam hak-hak dasar warga negara. Harini Sivalingam, direktur program ekuitas di Asosiasi Kebebasan Sipil Kanada (CCLA), menyatakan bahwa larangan ini bisa secara tidak proporsional memengaruhi komunitas minoritas agama, termasuk Muslim dan Sikh.

Di sisi lain, pemerintah Quebec berargumen bahwa larangan doa publik di sekolah bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang netral dan inklusif. Mereka menekankan bahwa sekolah harus menjadi ruang tempat semua siswa merasa nyaman, tanpa tekanan atau pengaruh agama tertentu.

Namun, kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang batasan otoritas pemerintah. Joel Bakan, profesor hukum konstitusional di University of British Columbia, menyatakan bahwa pemerintah Quebec mungkin akan kesulitan meyakinkan pengadilan bahwa larangan doa publik adalah batas yang masuk akal.

Sebagai bagian dari proses pembentukan undang-undang, pihak pemerintah akan melakukan diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat, termasuk organisasi agama dan kebebasan sipil. Pemungutan suara di Parlemen Quebec akan menjadi langkah penting dalam menentukan apakah kebijakan ini akan diimplementasikan.

Sementara itu, para ahli hukum menilai bahwa kasus ini bisa menjadi ujian terhadap prinsip-prinsip dasar dalam Piagam Hak dan Kebebasan Kanada. Mahkamah Agung Kanada mungkin akan meninjau kembali kebijakan ini, terutama jika ada tantangan hukum yang diajukan.

Kontroversi ini juga menunjukkan ketegangan antara prinsip sekularisme dan hak kebebasan beragama. Di satu sisi, pemerintah ingin memastikan bahwa sekolah tetap netral. Di sisi lain, masyarakat khawatir bahwa larangan doa publik bisa mengabaikan hak-hak individu untuk beribadah sesuai keyakinan mereka.

Keputusan ini akan memiliki dampak jangka panjang pada cara masyarakat Quebec memandang kebebasan beragama dan ekspresi. Dengan perdebatan yang terus berlangsung, penting bagi pihak-pihak terkait untuk mencari solusi yang seimbang, yang menghormati hak-hak semua warga negara.

Pos terkait