Presiden Kongo dan Rwanda Bertemu di AS, Teken Kesepakatan Damai

Presiden Republik Demokratik Kongo (DRC) dan Rwanda, Joseph Kabila dan Paul Kagame, secara resmi menandatangani kesepakatan damai yang difasilitasi oleh Amerika Serikat pada 27 Juni 2025 di Washington, DC. Penandatanganan ini menjadi langkah penting dalam upaya mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama puluhan tahun di wilayah Kongo Timur.

Perjanjian tersebut dihadiri oleh Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio serta perwakilan PBB, termasuk Sekretaris Jenderal Antonio Guterres. Dalam pernyataannya, Guterres menyambut baik kesepakatan ini, menyebutnya sebagai “langkah penting menuju de-eskalasi, perdamaian, dan stabilitas di Republik Demokratik Kongo Timur dan wilayah Great Lakes.”

Penandatanganan kesepakatan damai ini dilakukan setelah lebih dari tiga dekade konflik yang menyebabkan jutaan korban jiwa dan pengungsi. Menurut data PBB, konflik antara DRC dan Rwanda telah memaksa lebih dari 7,8 juta orang meninggalkan rumah mereka, menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan terbesar di Afrika Sub-Sahara.

Kesepakatan ini mencakup beberapa poin utama, termasuk integritas teritorial, larangan permusuhan, pelepasan tahanan, pelucutan senjata, dan integrasi bersyarat dari kelompok bersenjata non-negara. Meskipun disambut positif, sejumlah ahli tetap waspada terhadap kemungkinan pelanggaran perjanjian di lapangan.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga memberikan apresiasi terhadap peran aktif pemerintah Amerika Serikat dalam memfasilitasi perjanjian tersebut. Ia mengakui kerja sama dengan Qatar dan Presiden Togo Faure Gnassingbe sebagai mediator Uni Afrika. Selain itu, Guterres menyerukan agar semua pihak terlibat dalam konflik mematuhi sepenuhnya komitmen yang telah dibuat dalam perjanjian damai.

PBB, melalui misi penjaga perdamaian MONUSCO di Kongo, menyatakan tetap berkomitmen penuh untuk mendukung implementasi perjanjian ini dalam koordinasi dengan Uni Afrika serta mitra regional dan internasional.

Meski demikian, ada kekhawatiran bahwa kesepakatan ini tidak akan berlaku bagi kelompok pemberontak terkemuka. Beberapa kelompok bersenjata di Kongo Timur mengklaim bahwa perjanjian tersebut tidak mencakup mereka, sehingga potensi pelanggaran masih terbuka.

Di sisi lain, para pemimpin negara dan masyarakat lokal menyambut baik kesepakatan ini sebagai langkah awal menuju perdamaian. Seorang warga Kongo di Kinshasa, Maria Banda, mengatakan, “Kami sangat berharap perjanjian ini bisa benar-benar diterapkan dan membawa kedamaian bagi rakyat kami.”

Sebagai bagian dari kesepakatan, AS juga berharap dapat memperluas aksesnya ke mineral kritis di wilayah Kongo Timur, yang sangat dibutuhkan untuk teknologi modern. Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang tujuan jangka panjang AS di kawasan tersebut.

Presiden AS Donald Trump sebelumnya menyampaikan bahwa perjanjian ini adalah “momen penting setelah 30 tahun perang” dan berharap bahwa ini akan membawa harapan baru bagi wilayah tersebut.

Meski ada optimisme, analisis dari pakar politik Afrika, Dr. Samuel Nkosi, menunjukkan bahwa keberhasilan kesepakatan ini bergantung pada komitmen penuh dari semua pihak. “Perdamaian tidak hanya bisa dicapai melalui penandatanganan dokumen, tapi juga melalui implementasi yang konsisten dan transparan,” katanya.

PBB dan organisasi internasional lainnya akan terus memantau pelaksanaan perjanjian ini. Dengan adanya resolusi Dewan Keamanan 2773 (2025), diharapkan semua pihak dapat menjaga perdamaian dan menghindari kembali ke konflik.

Secara keseluruhan, penandatanganan kesepakatan damai antara DRC dan Rwanda menjadi titik balik dalam sejarah konflik regional yang telah lama menggoncang Afrika Timur. Meski tantangan masih banyak, langkah ini menjadi harapan baru bagi jutaan penduduk yang telah lama hidup dalam ketidakstabilan.

Pos terkait