Fenomena Pengamen Topeng Monyet di Jakarta
Di tengah kota yang semakin modern dan sibuk, fenomena pengamen topeng monyet masih bertahan. Meski jumlahnya kian menipis, atraksi ini tetap menjadi bagian dari sejarah hiburan rakyat urban di Jakarta. Tradisi ini memicu perdebatan terkait kesejahteraan hewan dan dampak sosialnya.
Sejarah dan Perkembangan Atraksi Topeng Monyet
Rakhmat Hidayat, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menjelaskan bahwa fenomena pengamen topeng monyet merupakan generasi awal dari berbagai bentuk hiburan rakyat seperti badut, manusia silver, dan ondel-ondel. Atraksi ini muncul pada awal 1990-an sebagai hiburan murah meriah bagi anak-anak. Pada masa itu, teknologi digital belum berkembang, sehingga atraksi ini menjadi pilihan hiburan yang mudah diakses oleh masyarakat.
“Monyet dianggap lucu karena bisa mengikuti perintah pawangnya,” kata Rakhmat. Namun, tidak semua pengalaman menyenangkan. Beberapa kasus monyet menggigit atau mengejar anak-anak membuat sebagian orang trauma. Hal ini menyebabkan sebagian orang tua mulai menganggap atraksi ini menakutkan.
Memasuki era 2000-an, atraksi ini menghadapi persaingan dari pengamen lain. Namun, topeng monyet tetap bertahan karena memiliki ciri khas profesi dan identitas sosial yang diwariskan turun-temurun. Faktor ekonomi juga menjadi alasan utama pawang mempertahankan profesinya, selain fungsi hiburan bagi masyarakat.
Isu Kesejahteraan Hewan
Menurut Rakhmat, atraksi topeng monyet sempat meredup pada awal 2000-an akibat kritik dari aktivis lingkungan dan pecinta hewan. Namun, setelah 2010, pengamen topeng monyet kembali muncul. Mereka tetap bertahan karena memiliki jaringan pertemanan yang saling memberi informasi ketika ada penertiban.
Ia menekankan pentingnya pendekatan humanis dan edukasi. “Perlu edukasi kepada para pawang dan masyarakat agar memahami dampaknya terhadap kesejahteraan hewan. Langkah pertama adalah pendataan, kemudian pembinaan dan pelibatan aktivis hewan,” katanya.
Penertiban dan Regulasi
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) DKI Jakarta, Hasudungan Sidabalok, menjelaskan bahwa pengawasan terhadap monyet yang digunakan dalam atraksi bersifat kesehatan dan kesejahteraan hewan, sebagaimana diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 dan Peraturan Gubernur Nomor 199 Tahun 2016.
“Secara umum, tren atraksi topeng monyet di Jakarta sudah turun drastis. Namun, beberapa kasus melibatkan jaringan penyewaan monyet yang beroperasi secara mobile untuk menghindari petugas,” kata Hasudungan.
Penertiban dilakukan melalui operasi gabungan antara instansi terkait, termasuk Dinas Pertamanan dan Hutan Kota, Satpol PP, dan BKSDA. Prosesnya dimulai dari laporan masyarakat melalui aplikasi JAKI atau kanal CRM, dilanjutkan identifikasi lokasi, koordinasi antar instansi, edukasi, dan pengamanan hewan.
Setelah diamankan, monyet diperiksa medis dan direhabilitasi oleh BKSDA bekerja sama dengan lembaga konservasi. “Kami juga mendampingi para pawang yang satwanya disita agar beralih ke pekerjaan lain yang tidak melanggar peraturan,” ujar Hasudungan.
Cerita Para Pawang
Di gang sempit, Matraman, Jatinegara, Jakarta Timur, Deni (43) dan ponakannya, Raffi (18), menampilkan atraksi topeng monyet. Deni bertugas menabuh tabung gas bekas yang berfungsi sebagai drum, sementara Raffi mengatur gerak monyet mungil melalui seutas tali kuning cerah.
Deni menjalani profesi ini lebih dari 25 tahun sejak lulus SMA. Penghasilannya sekitar Rp50.000 per hari. Ia dan rekan-rekannya berkeliling Jakarta, biasanya bertiga dari enam orang yang tergabung dalam kelompok mereka. Monyet yang dipakai adalah sewaan, dengan biaya Rp700.000 per bulan.
Selama kariernya, Deni beberapa kali ditangkap Satpol PP karena atraksi topeng monyet sudah dilarang. “Dua kali monyet disita, terakhir saya yang menyerahkan sendiri. Harga monyetnya saja Rp3 juta,” ujarnya.
Tanggapan Warga
Warga yang lewat menatap dengan rasa penasaran, sesekali memberikan uang receh, lalu melanjutkan aktivitasnya. “Seru sih, selama ini kan sering lihat tapi semakin kesini semakin jarang ada topeng monyet,” tutur Nani (32) Warga Matraman.
Menurut Nani, hiburan ini sangat ditunggu anak-anak. Meski begitu ia juga selalu berpesan pada anaknya agar tidak mendekati hewan tersebut. “Pastinya menghibur, cuma saya pesan tuh ke anak. Kalau lihat topeng monyet jangan dekat takutnya digigit,” kata Nani.
Sementara Mustho (40) warga lain turut memberikan pendapatnya mengenai atraksi topeng monyet tersebut. “Kalau dulu kan dijadikan hiburan, sekarang mereka ngamen. Ya enggak masalah buat kita sebagai warga, asal jangan mengganggu atau monyetnya menggigit orang,” kata Mustho.
Bagi warga lainnya, atraksi ini menjadi hiburan murah di lingkungan padat. “Kalau mau nonton bioskop atau taman hiburan harus keluar uang banyak, ini cukup Rp5.000 atau Rp10.000 sudah seru,” kata Budi (45), pemilik warung di dekat lokasi.
Namun, ada juga warga yang mengkritik praktik ini. “Monyetnya kasihan, harus dipaksa melakukan atraksi. Kadang nggak sengaja gigit atau jatuh,” ujar Rina (33), ibu rumah tangga lain.



















