Pencemaran limbah yang terjadi di kawasan pesisir utara Jawa, khususnya di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, kembali menjadi perhatian serius setelah satu hiu paus ditemukan mati tersangkut di jaring nelayan. Kejadian ini menunjukkan bahwa dampak pencemaran laut tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga pada kehidupan masyarakat nelayan yang bergantung pada sumber daya laut.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya Bakar, langsung turun tangan untuk menyelidiki dugaan pencemaran limbah yang mengancam ekosistem laut dan kesejahteraan para nelayan. KLHK memastikan akan melakukan investigasi mendalam terhadap sumber pencemaran, serta memastikan langkah-langkah pencegahan dan penanganan dilakukan secara efektif.
Perairan Muara Gembong, yang selama ini menjadi jalur aliran limbah dari sungai-sungai besar seperti Cikarang Bekasi Laut (CBL) dan Banjir Kanal Timur (BKT), telah menjadi ancaman bagi biota laut. Air yang berwarna hitam pekat dan berbau got, mencemari hasil tangkapan ikan dan mengganggu kesehatan satwa laut. Nelayan di wilayah ini mengaku semakin kesulitan menghadapi kondisi laut yang semakin tercemar.
Ahmad Qurtubi, Sekretaris Desa Pantai Bahagia, menjelaskan bahwa hiu paus tersebut ditemukan dalam kondisi masih utuh namun sudah mati. “Hiu itu ditemukan saat nelayan selesai melaut. Saat ditarik ramai-ramai, ternyata hiu tutul. Posisi memang sudah mati,” katanya. Ia menduga, satwa dilindungi ini tidak kuat berenang di laut yang sudah tercemar limbah dan sampah hingga mengalami disorientasi.
Andhika Prima Prasetyo, Peneliti Ahli Madya dari BRIN, mengatakan kemungkinan besar hiu paus itu terjebak ketika sedang memanfaatkan konsentrasi plankton dan udang kecil yang berkumpul di sekitar alat tangkap nelayan. Sebagai penyaring makanan (filter feeder), hiu paus mudah tertarik pada “makanan gratis” yang menumpuk di bawah bagan. Saat mendekat, ia bisa terperangkap dan kesulitan kembali ke laut lepas.
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa hiu paus yang terdampar sering kali menelan sampah plastik dalam jumlah besar. Plastik itu menimbulkan kondisi “kenyang semu”, dimana satwa merasa kenyang tetapi tidak memperoleh nutrisi dan akhirnya mati karena kelaparan.
Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa pencemaran limbah industri dan domestik di kawasan utara Jawa telah mencapai titik kritis. Nelayan di daerah ini harus bekerja ekstra keras membersihkan jalur perahu sebelum bisa melaut. Selain itu, banjir rob dan musim hujan membuat tumpukan sampah mencapai 50–70 cm di sepanjang pantai.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan bahwa pemerintah sedang menangani sampah plastik yang diperkirakan mengalir melalui empat sungai di Jawa dan dua sungai di Bali hingga terdampar di sejumlah pantai di Pulau Dewata. Salah satu sungai utama yang menyumbang sampah adalah Sungai Ciliwung, yang membelah kota-kota besar seperti Jakarta dan Jawa Barat.
KLHK dan pemerintah pusat terus berupaya memperbaiki kondisi lingkungan dengan memasang jaring-jaring penangkap sampah di beberapa sungai penting. Selain itu, pemerintah juga bekerja sama dengan Badan PBB Bidang Program Pembangunan (UNDP) dan dukungan dari negara-negara seperti Norwegia dan Uni Emirat Arab (UEA).
“Kami ingin memastikan bahwa sampah plastik tidak lagi mengalir ke laut. Kami akan memastikan bahwa di Tukad Mati dan Tukad Badung tahun ini harus selesai tidak boleh ada lagi sampah, tidak ada lagi pencemaran,” kata Hanif.
Dengan adanya tindakan dari KLHK dan pemerintah, diharapkan kondisi lingkungan di kawasan pesisir utara Jawa dapat segera diperbaiki. Nelayan dan masyarakat pesisir yang selama ini mengandalkan laut sebagai sumber penghidupan, bisa kembali merasakan manfaat dari ekosistem yang sehat dan bersih.



















