Jakarta – Kepolisian Republik Indonesia (KPK) menyatakan kekecewaan berat terhadap keputusan Presiden Joko Widodo untuk memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi. Keputusan tersebut dinilai mengganggu proses pemberantasan korupsi dan menciptakan ketidakadilan dalam sistem peradilan.
Ira Puspadewi, yang sebelumnya dihukum 4,5 tahun penjara karena kasus korupsi terkait kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada 2019-2022, kini mendapatkan rehabilitasi dari Presiden. Dalam putusan itu, hak dan martabatnya dipulihkan, meskipun vonis hukumannya sudah berkekuatan hukum tetap.
“Kami menilai bahwa pemberian rehabilitasi ini merupakan bentuk intervensi eksekutif terhadap proses peradilan yang berpotensi mencederai independensi peradilan dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi,” ujar Kepala Divisi Hukum dan Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, kepada Kompas.com.
Baca juga: Rehabilitasi Dikhawatirkan Jadi Celah Koruptor Hindari Tanggung Jawab
Keputusan presiden ini menjadi yang ketiga kalinya dalam beberapa bulan terakhir, setelah sebelumnya Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto dan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong. ICW mempertanyakan standar dan transparansi dalam pemberian rehabilisasi, yang dinilai tidak memiliki batasan jelas.
“Presiden memiliki kewenangan yang sangat luas untuk menggunakan hak-hak memberikan grasi, amnesti, rehabilitasi, dan abolisi tanpa ada garis batasan yang jelas,” tambah Wana.
Menurut Wana, praktik pemberian rehabilitasi tanpa standar transparansi dan akuntabilitas justru mengaburkan batas antara lembaga yudikatif dan eksekutif. Hal ini dikhawatirkan akan melemahkan fungsi korektif peradilan, yang seharusnya menjadi ruang koreksi untuk menguji ketepatan pertimbangan hukum pengadilan yang lebih rendah.

IM57+ Institute, sebuah lembaga pemantau anti-korupsi, juga menyampaikan kekhawatiran serupa. Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menilai keputusan Presiden mengabaikan kerja keras penyidik dan penuntut KPK yang telah menangani perkara tersebut selama bertahun-tahun.
“Setelah Hasto mendapatkan amnesti pasca proses penyelidikan dan penyidikan panjang oleh KPK, kini rehabilitasi pada kasus ASDP menunjukkan Presiden tidak melihat secara substansial persoalan yang muncul dari fakta persidangan,” kata Lakso.
Eks penyidik KPK itu menilai sikap Presiden yang berulang kali mengoreksi hasil kerja KPK berpotensi menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi antirasuah.
Baca juga: Perjalanan Kasus Ira Puspadewi: Vonis Bui hingga Prabowo Beri Rehabilitasi
Selain itu, IM57+ juga mempertanyakan arah kebijakan Presiden dalam pembenahan sektor penegakan hukum. “Langkah ini menegasikan kerja keras penyidik dan penuntut KPK yang telah menangani perkara itu selama bertahun-tahun,” tambah Lakso.
[IMAGE: KPK Kecewa Berat dengan Keputusan Rehabilitasi Ira Puspadewi]
Dalam konteks hukum, rehabilitasi diberikan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, sesuai Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945. Namun, pakar hukum dari Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, menjelaskan bahwa ada sejumlah persyaratan yang perlu dipenuhi sebelum rehabilitasi diberikan.
“Rehabilitasi hanya bisa diberikan kepada seseorang yang diputus bebas atau lepas. Putusan bagi terpidana harus yang sudah berkekuatan hukum tetap,” ujar Aan.
Namun, dalam kasus Ira Puspadewi, vonis hukumannya sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga pemberian rehabilitasi dianggap tidak sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku.

Sebagai informasi, Ira Puspadewi bersama dua anak buahnya, Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, mendapatkan rehabilitasi dari Presiden. Dalam pernyataannya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut bahwa keputusan ini dilakukan setelah adanya aspirasi dari masyarakat dan kelompok masyarakat.
“Dari hasil komunikasi dengan pihak pemerintah, alhamdulillah pada hari ini Presiden RI Prabowo Subianto telah menandatangani surat rehabilitasi terhadap 3 nama tersebut,” imbuhnya.
Namun, keputusan ini memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat dan lembaga anti-korupsi. Banyak yang menilai bahwa rehabilitasi tidak layak diberikan kepada para pelaku korupsi, terlebih jika hukuman mereka sudah berkekuatan hukum tetap.




















