Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meresmikan Undang-Undang (UU) Penyesuaian Pidana yang menjadi tindak lanjut dari penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru. Pengesahan ini dilakukan dalam rangka memastikan sistem hukum Indonesia tetap relevan dengan dinamika sosial, teknologi, dan kebutuhan masyarakat. Salah satu fokus utama dalam UU ini adalah penerapan konsep restorative justice atau keadilan restoratif, yang menekankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat.
Pengesahan UU Penyesuaian Pidana ini dilakukan setelah sebelumnya terjadi pembahasan intensif oleh Komisi III DPR RI, yang menjadwalkan pembahasan RUU tersebut pada pekan depan. Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa UU ini harus disiapkan sebelum KUHP baru diberlakukan pada Januari 2026. “Sebelum pemberlakuan KUHP itu harus ada Undang-Undang Penyesuaian Pidana. Itu akan kita bahas di sisa waktu ini,” ujarnya.
Menurut Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Atas, pengesahan RKUHAP menjadi UU merupakan langkah penting untuk memperkuat sistem hukum acara pidana yang lebih adaptif, modern, dan berkeadilan. “KUHAP baru memuat sejumlah pembaruan mendasar yang disusun untuk menyesuaikan sistem hukum acara pidana dalam perkembangan zaman,” katanya dalam rapat paripurna.
Salah satu perubahan mendasar dalam KUHAP baru adalah penerapan mekanisme keadilan restoratif. Konsep ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dalam penegakan hukum dengan mengedepankan pemulihan hubungan sosial dan rekonsiliasi antara pelaku, korban, serta masyarakat yang terlibat. Pendekatan ini berbeda dari sistem peradilan pidana konvensional yang cenderung berfokus pada penghukuman.
Restorative justice telah diadopsi oleh berbagai lembaga penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung melalui berbagai kebijakan dan praktiknya. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah mencapai kesepakatan yang adil dan seimbang bagi semua pihak yang terlibat dalam kasus kriminal. Dalam proses ini, pemulihan kembali pada keadaan semula dan membangun kembali pola hubungan yang baik dalam masyarakat menjadi hal yang sangat diutamakan.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menerapkan restorative justice antara lain:
- Kasus tindak pidana pertama kali.
- Kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana berada di bawah batas tertentu (misalnya, Rp 2,5 juta).
- Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban untuk mengikuti pendekatan restorative.
- Ancaman pidana yang dijatuhkan hanya berupa pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.
- Tersangka mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban.
- Tersangka mengganti kerugian yang dialami oleh korban.
- Tersangka juga harus mengganti biaya yang timbul akibat tindak pidana dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Selain itu, penerapan restorative justice tidak berlaku untuk kasus-kasus tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat dan wakilnya, ketertiban umum, serta kesusilaan. Selain itu, restorative justice juga tidak diterapkan pada tindak pidana dengan ancaman pidana minimal, tindak pidana narkotika, tindak pidana lingkungan hidup, dan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Dalam pelaksanaan restorative justice, terdapat beberapa pedoman yang perlu diikuti, seperti penelitian administrasi untuk memeriksa syarat formil penyelesaian perkara, permohonan perdamaian yang telah memenuhi persyaratan formil diajukan kepada atasan penyidik, dan konferensi yang menghasilkan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat.
Dengan pengesahan UU Penyesuaian Pidana yang menekankan restorative justice, diharapkan sistem hukum Indonesia dapat menjadi lebih responsif terhadap tantangan zaman, lebih adil terhadap warga negara, dan lebih tegas terhadap penyalahgunaan wewenang. Pendekatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan rasa keadilan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia.


