Perlu Penetapan Bencana Nasional untuk Wilayah Sumatra
Pemerintah dianggap perlu mempertimbangkan penanganan bencana alam yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dengan status bencana nasional. Hal ini dilakukan karena adanya ketimpangan antara status administratif dan realitas di lapangan yang menyebabkan desakan agar pemerintah segera menetapkan darurat bencana nasional demi memastikan koordinasi yang lebih terpadu.
Trubus Rahadiansyah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, menilai bahwa pemerintah perlu segera mempertimbangkan penetapan status bencana nasional terkait bencana yang melanda wilayah-wilayah di Sumatra. Menurutnya, secara realitas, Indonesia seharusnya telah mempertimbangkan status tersebut. Ia menyinggung pernyataan pemerintah sebelumnya bahwa anggaran untuk penanganan bencana tersedia.
“Anggarannya ada gitu kan. Ya jadi harusnya sudah naik ini nasional,” ujarnya saat dihubungi oleh Bisnis, Rabu (3/12/2025).
Menurut Trubus, beberapa kepala daerah telah menyatakan tidak mampu menangani dampak bencana, termasuk tiga sampai empat daerah yang dia sebutkan dalam diskusi. Dia menyinggung percakapannya dengan salah satu bupati di Tapanuli yang menggambarkan kondisi masyarakat yang masih terisolasi dan kesulitan mendapat makanan.
“Itu katanya kondisinya memang masih banyak masyarakat yang belum bisa makan karena kondisinya terisolir,” ucapnya.
Dia juga menyebutkan bahwa anggota Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu sempat dia hubungi, dan keduanya sepakat bahwa penetapan status bencana nasional dapat mempercepat penanganan terpadu.
“Pemerintah segera menetapkan itu bencana nasional sehingga penangannya terpadu cepat,” kata Trubus.
Namun, dia menegaskan bahwa penetapan bencana nasional mengikuti prosedur hukum yang ketat berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Mekanisme tersebut mengharuskan pemerintah kabupaten/kota terlebih dahulu menyatakan status darurat dan ketidakmampuan menangani bencana. Jika tidak sanggup, barulah pemerintah provinsi mengambil alih.
“Kalau Kabupaten Kota nggak mampu baru nanti Provinsi yang nangani. Kalau Provinsi juga Gubernur itu menyatakan tidak sanggup semuanya baru menyatakan kepada Presiden melalui BNPB,” jelasnya.
Trubus menilai rumitnya prosedur ini sering membuat penanganan bencana tidak optimal. Dia mencontohkan kasus Yogyakarta pada 2006 yang menelan lebih dari 6.000 korban, tetapi tidak pernah ditetapkan sebagai bencana nasional.
“Itu juga cuma ditangani oleh DIY, nggak sampai nasional,” katanya.
Sementara itu, kondisi di Sumatra dinilai serupa. Meskipun beberapa kabupaten menyatakan tidak sanggup, layanan publik di level provinsi masih berjalan sehingga pemerintah pusat belum melihat kebutuhan mendesak untuk menetapkan status nasional.
Trubus juga mengkritisi kurangnya inisiatif pemerintah daerah untuk menyampaikan situasi sesungguhnya saat Presiden Prabowo Subianto berkunjung ke lokasi bencana. Menurutnya, momentum tersebut dapat digunakan untuk memastikan respons cepat pada masa “golden time”.
“Kenapa tidak disampaikan supaya golden time-nya itu nggak hilang,” katanya.
Dari sisi risiko ekonomi, Trubus menilai kekhawatiran terkait potensi dampak travel warning internasional terhadap pariwisata memang masuk akal, tetapi tidak seharusnya mengorbankan keselamatan warga. Dia menjelaskan bahwa status bencana nasional akan mempermudah koordinasi, pengerahan aparat, serta saluran pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Namun dia juga mengakui adanya ketakutan kepala daerah terkait pengawasan ketat penggunaan dana.
Menurut Trubus, pemerintah sebenarnya dapat menempuh skema alternatif yakni tetap menetapkan bencana sebagai bencana daerah tetapi dengan penanganan skala nasional.
“Selama ini kan sudah koordinasi dengan pemerintah pusat. Artinya political will lah,” ucapnya.
Dia menyoroti bahwa kriteria penetapan bencana nasional dalam Pasal 7 Undang-Undang 24/2007 mencakup cakupan wilayah, jumlah korban, dan aspek lain yang tetap diputuskan presiden setelah menerima masukan dari BNPB, kementerian terkait, dan para gubernur.
Trubus menilai kondisi di Sumatra saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, termasuk banyaknya daerah terisolasi, infrastruktur putus, bantuan sulit masuk, serta laporan kampung hilang dan korban yang belum ditemukan.
“Banyak yang tersolir. Alat-alat berat nggak ada. Manusia sudah membusuk karena lebih dari 7 hari,” ungkapnya.
Dia menegaskan bahwa ketiga gubernur yang wilayahnya terdampak seharusnya duduk bersama menyatakan ketidakmampuan secara resmi agar prosedur administratif dapat berjalan.
Kebijakan yang Seimbang antara Hukum, Ekonomi, dan Kebutuhan Lapangan
Karuniana Dianta A. Sebayang, akademisi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, menilai sejauh ini langkah pemerintah mempertahankan status bencana daerah masih merupakan kebijakan yang seimbang antara aspek hukum, ekonomi, dan kebutuhan lapangan.
“Secara hukum, status tetap bencana daerah agar ekonomi dan pariwisata nasional aman. Secara fakta, bantuan turun all-out rasa nasional,” ujarnya.
Menurutnya, model Status Daerah, Rasa Nasional ini memungkinkan penanganan maksimal tanpa menimbulkan persepsi global bahwa Indonesia sedang mengalami bencana besar yang melumpuhkan negara.
Meski begitu, Dianta menilai pemerintah perlu segera mengambil keputusan strategis untuk kebutuhan pasca bencana agar proses bantuan, evakuasi, dan koordinasi lintas sektor bisa berjalan lebih efektif.
“Yang terpenting adalah penyelamatan warga, percepatan evakuasi, dan memastikan akses logistik yang kini masih terhambat di banyak wilayah,” ucapnya.
Dianta menegaskan bahwa pemerintah harus memperhatikan tren green economics dan sustainability economics dalam merumuskan kebijakan penanganan bencana serta pengelolaan sumber daya alam. Dia mengingatkan bahwa investor global kini menuntut kepastian keberlanjutan pada setiap investasi yang masuk ke Indonesia.
“Yang harus dipahami oleh pemerintah, tren Green Economics dan Sustainability Economics menjadi perhatian utama para investor hari ini. Karena para investor membutuhkan kepastian akan keberlanjutan investasinya,” kata Dianta.
Dianta menilai momentum bencana di Sumatra dan Aceh harus menjadi refleksi sekaligus pemicu evaluasi serius terhadap kebijakan tambang dan deforestasi. Menurutnya, kerusakan lingkungan yang tidak terkendali dapat memperburuk dampak bencana, sekaligus merusak kepercayaan investor yang kini semakin berorientasi pada keberlanjutan.
Ke depan, Dianta menekankan bahwa fokus penanganan tidak boleh berhenti pada upaya penyelamatan korban.
“Masalah bencana bukan hanya selamat dari bencana, tetapi setelah terjadi bencana, apa peran pemerintah. Bagaimana membantu mengembalikan agar masyarakat yang kena bencana kembali bisa beraktivitas dan mendorong perekonomian setempat,” tuturnya.
Dia menilai bahwa skema pendanaan yang kuat, koordinasi pusat-daerah, serta keberlanjutan lingkungan adalah tiga fondasi utama pemulihan. Dianta juga menyoroti pentingnya memastikan bahwa perusahaan-perusahaan, khususnya sektor ekstraktif, benar-benar menjalankan aturan keberlanjutan yang sudah ditetapkan pemerintah.
“Selain evaluasi, juga apakah perusahaan-perusahaan telah menjalankan aturan yang telah berlaku. Jangan sampai Indonesia Emas 2045 hanya didorong dengan mengorbankan seluruh sumber daya alam kita. Setelah 2045, Indonesia menjadi Indonesia Gelap 2065,” tegas Dianta.
