Dari Badai Debu 1930 hingga Banjir Sumatera Hari Ini

Peristiwa Banjir Bandang di Sumatera Tahun 2025

Tahun 2025, tiga provinsi di Pulau Sumatera—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—terkena dampak banjir bandang yang berulang. Di Pesisir Selatan Sumatera Barat, air bah menghancurkan permukiman; di Batangtoru, Sumatera Utara, sungai yang sebelumnya tenang menjadi monster yang melahap tebing; di Aceh, desa-desa terisolasi menjadi pulau-pulau kesedihan.

Narasi resmi menyebut “curah hujan ekstrem” dan “hutan yang hilang”, namun akar tragedi ini lebih dalam: ia adalah buah dari sebuah model pertanian ekstraktif yang tidak hanya merusak lanskap, tetapi juga gagal membangun ekonomi berbasis pengetahuan—sebuah ironi besar yang tercermin dalam Product Complexity Index (PCI) minyak kelapa sawit Indonesia yang bernilai -2,4, menandakan kandungan ilmu pengetahuan yang sangat rendah dalam produk andalan ini; menandakan pula bahwa pola ekstraktif atau eksploitatif masih terus berlanjut.

The Dust Bowl: Pemberontakan Tanah yang Melahirkan Kebijakan Berpikir

Pada 1930-an, Amerika Serikat mengalami bencana ekologis paling ikonik: The Dust Bowl. Dataran Great Plains yang dibajak secara masif untuk gandum berubah menjadi hamparan debu yang diterbangkan angin. Krisis ini tidak hanya menghancurkan pertanian, tetapi juga memperdalam Depresi Besar. Dari puing-puing ini, Amerika berefleksi.

Tokoh seperti Walter Clay Lowdermilk, setelah mengelilingi dunia dan menyaksikan kehancuran peradaban akibat erosi, menyimpulkan: peradaban yang merusak tanahnya akan binasa. Refleksi ini melahirkan Soil Conservation Service (SCS) pada 1935—sebuah terobosan kebijakan yang menempatkan konservasi tanah sebagai ilmu dan praktik nasional. Mereka tidak hanya membangun terasering, tetapi lebih penting: membangun kapasitas kelembagaan dan ilmu pengetahuan untuk berdamai dengan alam.

Detransformasi Ekonomi Indonesia: Ekspansi Sawit dan Kemiskinan Kompleksitas

Sementara AS belajar dari Dust Bowl, Indonesia pada abad ke-21 justru mengalami “detransformasi ekonomi” yang paradoksal. Hutan hujan tropis—sistem ekologis paling kompleks di bumi—dikonversi besar-besaran menjadi monokultur kelapa sawit, sebuah sistem yang secara ekologis sederhana dan rentan. Yang lebih memprihatinkan adalah kualitas transformasi ekonomi yang dihasilkan.

Menurut data Atlas of Economic Complexity, Product Complexity Index (PCI) minyak kelapa sawit Indonesia adalah -2,4. Angka ini berada di ujung bawah spektrum global, menunjukkan bahwa produk ini miskin kandungan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi.

Inilah halusinasi kemajuan: kita mengorbankan sistem alam yang sangat kompleks (hutan hujan tropika) untuk sebuah komoditas dengan kompleksitas pengetahuan yang sangat rendah. Ekonomi tidak naik kelas, hanya memperluas skala kerusakan. Model ini menggandakan kerentanan: secara ekologis, lanskap menjadi rapuh; secara ekonomi, bangsa ini terjebak dalam rantai nilai primer yang tidak tahan guncangan.

Banjir Bandang Sumatera 2025: Bentuk Perlawanan Alam yang Terprediksi

Banjir bandang 2025 di Sumatera adalah konsekuensi yang terprediksi dari model ini. Hutan di lereng curam (>30%)—yang berfungsi sebagai infrastruktur hidrologis alami—digantikan oleh sawit dengan akar dangkal dan daya serap terbatas. Ketika hujan datang, air tidak diatur oleh sistem kompleks kanopi, serasah, dan porositas tanah hutan, tetapi langsung menjadi runoff yang menghantam lereng.

Di Sumatera Barat, konversi hutan di Bukit Barisan untuk perkebunan telah melumpuhkan kemampuan daerah tangkapan air. Di Batangtoru, Sumatera Utara, perluasan sawit di lereng curam menurunkan kapasitas infiltrasi hingga 80%, membuat hujan dengan intensitas 20-30 mm/jam—yang sebelumnya tak bermasalah—kini memicu bencana. Di Aceh, degradasi Ekosistem Leuser—sebuah bank genetik dan penyimpan air—mengancam stabilitas hidrologis regional.

Alam memberontak dengan bahasa yang dipahaminya: ketika kapasitas penyerapan dilampaui, air akan mencari jalan sendiri—melalui kota, desa, dan sawah.

Indonesia Belajar Apa?

AS Punya SCS, Kita Punya Apa?

Pertanyaan kritisnya: Indonesia belajar apa dari sejarah? AS merespons Dust Bowl dengan membangun Soil Conservation Service, yang menjadi tulang punggung transformasi pertanian Amerika menuju sistem yang lebih resilien. Lembaga ini lahir dari pengakuan bahwa tanah adalah dasar peradaban, dan mengelolanya memerlukan sains, kebijakan, dan kelembagaan yang kuat.

Indonesia? Kita memiliki regulasi konservasi yang bagus di atas kertas, tetapi di lapangan, logika ekspansi lahan mengalahkan logika keberlanjutan. Kita memiliki instansi teknis seperti BP DASHL, namun otoritasnya sering tumpang tindih dan kalah oleh kepentingan ekspansi perkebunan. Yang paling mendasar: kita terjebak dalam paradigma pertumbuhan yang mengabaikan kompleksitas, baik kompleksitas ekosistem maupun kompleksitas ekonomi.

PCI sawit yang -2,4 adalah metafora sempurna untuk masalah ini: sebuah industri yang tidak cukup cerdas untuk menghargai kompleksitas alam yang digantikannya. Jika Dust Bowl mengajarkan AS untuk menghargai tanah, maka banjir bandang Sumatera 2025 harusnya mengajarkan Indonesia untuk menghargai kompleksitas—baik dalam ekonomi maupun ekologi.

Jalan Keluar: Dari Ekspansi Lahan ke Pendalaman Pengetahuan

Respon yang dibutuhkan bukan hanya tanggap darurat, tetapi transformasi paradigma pembangunan:

  • Moratorium dan Restorasi Ekologis: Hentikan konversi hutan di lereng curam dan daerah kritis, serta pulihkan dengan sistem agroforestri kompleks, bukan monokultur.
  • Pendalaman Kompleksitas Ekonomi: Naikkan PCI sawit melalui downstreaming berbasis biokimia, farmasi, dan bioenergi, bukan hanya ekspor minyak mentah. Beralih dari resource-based ke knowledge-based economy.
  • Membangun Lembaga Konservasi yang Kuat: Lahirkan badan setara SCS dengan mandat kuat, berbasis sains, dan berotoritas menyelaraskan kebijakan agraria, kehutanan, dan tata air.
  • Investasi pada Infrastruktur Hijau: Akui jasa ekosistem hutan sebagai infrastruktur publik utama, dan bayar untuk jasanya melalui mekanisme insentif yang nyata.

Banjir bandang Sumatera 2025 dan PCI -2,4 adalah dua sisi mata uang yang sama: kegagalan menghargai kompleksitas. Dust Bowl mengajar AS untuk merawat tanah; saatnya banjir bandang mengajar Indonesia untuk merawat pengetahuan—baik pengetahuan untuk mengelola lanskap secara arif, maupun pengetahuan untuk membangun ekonomi yang bernilai tambah tinggi. Pilihan kita sekarang: terus menjadi penakluk alam yang gagal, atau menjadi pelajar yang bijak dari sejarah. Alam sudah berbicara keras. Sudahkah kita mendengarkan?

Pos terkait