Benarkah Sawit Bisa Gantikan Hutan? Ini Jawaban Ahli UGM

AA1RKD8C

Sawit tidak bisa menggantikan hutan. Mengganti hutan dengan sawit bukan reboisasi. Itu deforestasi, hilangnya fungsi alam yang tak bisa digantikan. PRAY FOR SUMATERA, tulis akun @dai** pada Sabtu (29/11/2025).

Kelapa sawit merupakan tumbuhan industri bahan baku penghasil minyak. Indonesia merupakan negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Data milik Foreign Agricultural Service United States Department of Agriculture (USDA) per 2024-2025 menunjukkan bahwa Volume produksi minyak sawit di Indonesia mencapai 46 juta ton per tahun, dua kali lipat lebih banyak dari volume produksi di Malaysia. Selama 2013-2019, produksi minyak sawit di Indonesia terus meningkat, dari yang semula 28 juta metrik ton naik menjadi 47 juta metrik ton.

Namun, benarkah kelapa sawit tidak dapat menggantikan hutan, dan apa dampak dari hal tersebut?

Hutan sawit sangat berbeda dibanding hutan alam

Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS), Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Hatma Suryatmojo mengatakan bahwa lahan hijau tanaman sawit berbeda dengan hijaunya hutan. “Meski sawit sering diklaim tetap membuat lahan hijau, tapi sesungguhnya sama sekali berbeda dengan hijaunya hutan,” ujar Hatma ketika dihubungi.

Dari sudut pandang ekologi dan hidrologi, Hatma mengatakan kebun sawit sama sekali tidak dapat menggantikan peran hutan alam. Hal itu disebabkan struktur vegetasi hutan tropis jauh lebih kompleks, baik secara vertikal maupun horizontal. “Hutan memiliki struktur tajuk yang beragam dan tutupan lantai hutan yang rapat dan beragam, sehingga secara keseluruhan menghasilkan kekasaran permukaan tanah yang tinggi,” jelas Hatma.

Sementara itu, kebun sawit selalu homogen, lantai kebun ditekan agar selalu bersih untuk memudahkan panen. Maka dari itu kapasitas kebun sawit yang mengendalikan hujan jauh lebih rendah daripada hutan. “Keanekaragaman hayati sawit jelas lebih rendah daripada hutan yang lebih beragam jenis dan menciptakan habitat ideal bagi flora dan faunanya,” tambah Hatma.

Perbedaan hutan sawit dengan hutan alam

Hatma menjelaskan perbedaan mendasar antara hutan alam dan kebun sawit ada pada kemampuan masing-masing ekosistem dalam mengendalikan daur air melalui proses hidrologi. Pada hutan alam, hujan yang jatuh umumnya tertahan dulu oleh tajuk pohon berlapis serta serasah tebal di lantai hutan. Lapisan-lapisan ini meredam energi pukulan air sebelum menyentuh tanah. Struktur tanah hutan yang kaya bahan organik, bersifat granular, dan memiliki banyak makropori membuat air lebih mudah meresap, sehingga limpasan tetap rendah, erosi terkendali, dan sedimen yang masuk sungai relatif kecil.

Sementara itu, kondisi berbeda tampak pada kebun sawit. Meski sebagian air masih tertangkap oleh tajuk, kebun sawit tidak memiliki kanopi bawah dan serasah setebal hutan. Pengelolaan lapangan seperti pembersihan gulma, penggunaan alat berat, dan pemadatan jalan panen juga turut membuat struktur tanah makin padat dan infiltrasi menurun. “Hujan lebat jelas akan menghasilkan limpasan dan erosi yang besar,” jelas Hatma.

Bagaimana mencegah banjir dan longsor di wilayah kebun sawit?

Menjawab pertanyaan mengenai langkah terbaik mencegah banjir dan longsor di wilayah yang ditanam kebun sawit, Hatma menegaskan bahwa mempertahankan hutan alam yang tersisa merupakan langkah yang tidak bisa ditawar. “Hutan tersisa harus dipertahankan. Itu harga mati,” tegas dia. Ia menambahkan, kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) perlu dikembalikan pada fungsi lindungnya. Pemulihan tersebut dilakukan dengan mengembalikan tutupan hutan. “Kemudian penggunaan lahan di daerah hulu DAS harus dipulihkan fungsinya sebagai kawasan lindung (yang berfungsi melindungi kawasan di bawahnya) dengan menghutankan kembali,” pungkas Hatma.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *