Lokasi Kampung Pinangsia yang Terletak di Antara Dua Wilayah Jakarta
Kampung Pinangsia berada di antara dua wilayah administratif Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Di tempat ini, garis batas kota tidak terlihat secara jelas, melainkan hanya sebuah jalur rel aktif yang menjadi pembatas alami. Di satu sisi rel, warga Tamansari tinggal dengan kepadatan yang semakin meningkat. Di sisi lainnya, warga Pademangan menata rumah mereka dengan jarak hanya beberapa meter dari bantalan rel. Kondisi ini menjadikan Kampung Pinangsia sebagai contoh klasik dari persoalan tata ruang perkotaan permukiman informal yang tumbuh di atas lahan yang statusnya tidak sepenuhnya jelas.
Persoalan Utama dalam Permukiman dekat Rel Aktif
Pengamat tata kota Yayat Supriyatna menilai bahwa simpul persoalan utama di permukiman dekat rel aktif bukan semata soal keberadaan bangunan, tetapi kegagalan merancang mekanisme penataan yang berkelanjutan antara pemilik otoritas dan pemerintah daerah. Ia mengingat kembali bagaimana pada masa Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, penertiban dan relokasi hunian di sepanjang koridor kereta dilakukan cukup masif. Saat itu, PT KAI memiliki mandat penuh untuk menata dan mengamankan koridor rel. Namun, kondisi saat ini berbeda. Kewenangan itu tidak bisa berjalan tanpa koordinasi karena persoalan paling mendasar adalah status tanah.
Status Tanah dan Keterlibatan Pihak Terkait
Bila tanah tersebut merupakan tanah negara, pertanyaan berikutnya adalah instansi mana yang bertanggung jawab, dan apa rencana pemanfaatannya. Jika tanah merupakan aset PT KAI, penertiban dapat dilakukan, tetapi tetap membutuhkan skema pemindahan warga yang jelas. Masalah yang sering terjadi bukan semata pada proses membongkar bangunan, tetapi apa yang dilakukan setelah pembongkaran. Tanah-tanah kosong di sekitar rel kerap kembali diduduki, tumbuh bangunan baru, dan kembali menjadi permukiman informal setelah beberapa bulan.
Penertiban yang Efektif Membutuhkan Pemanfaatan Lahan
Menurut Yayat, penertiban yang efektif harus disertai pemanfaatan lahan yang tidak bisa ditempati ulang, misalnya dibuat taman, pagar besi permanen, tembok pelindung, atau jalur inspeksi resmi. Tanpa itu, daur penghunian ulang akan terus berulang. Di sisi lain, persoalan finansial juga menghambat eksekusi. Yayat menyoroti kondisi PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) dan Pemerintah Provinsi DKI yang sama-sama sedang terbatas ruang anggarannya.
Warga Bertahan di Tengah Risiko dan Ketidakpastian
Di balik diskusi panjang tentang tata ruang, koordinasi lembaga, dan status tanah, ada kehidupan warga yang berjalan setiap hari di lorong-lorong sempit dekat rel. Mereka menghadapi risiko langsung yang tidak semua bisa menunggu keputusan regulasi. Di dekat tumpukan motor berterpal oranye, Harun (56), seorang tukang ojek pangkalan, mengelap motornya sambil memantau lalu lalang warga. Sudah hampir dua dekade ia bekerja di tempat yang sama. Ia menggambarkan bagaimana perubahan kawasan terjadi perlahan.
Anak-anak Banyak yang Main di Rel
Bagas, remaja 19 tahun yang lahir dan besar di kawasan itu, mengaku sudah terbiasa dengan pemandangan orang melintasi rel secara sembarangan. Ia menyebut anak-anak kerap duduk di bantalan rel menunggu kereta lewat, sementara remaja memotong jalan ke kampung seberang dengan naik ke jalur inspeksi rel. Di sisi lain jembatan kecil yang menaungi sebagian jalur permukiman, Umi (47) terlihat sibuk menggoreng risoles di wajan besar. Sudah 15 tahun ia berdagang di titik itu.
Kecemasan Soal Masa Depan
Meski hidup berdampingan dengan risiko, Umi mengatakan warga jarang sekali mendapatkan pendampingan teknis. Di balik kesaharian itu, kecemasan soal masa depan tetap ada. Isu penggusuran muncul hampir setiap tahun, tetapi tak ada kejelasan. “Kami cuma ingin kalau memang ada penataan, kami tidak tiba-tiba disuruh pergi tanpa arah,” katanya.


















