Perkembangan Terbaru dalam Kasus Pembatalan Pernikahan Mualaf
Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Bandung telah mengambil keputusan terbaru dalam kasus pembatalan pernikahan mualaf yang sempat menjadi sorotan publik. Putusan ini menunjukkan bahwa pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Agama (PA) Karawang, tidak memiliki dasar hukum yang cukup untuk membatalkan pernikahan tersebut.
Putusan banding Nomor 258/Pdt.G/2025/PTA.Bdg dibacakan pada Kamis, 27 November 2025. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim PTA Bandung menyatakan bahwa permohonan banding dari pihak pembanding dapat diterima. Oleh karena itu, putusan PA Karawang Nomor 1187/Pdt.G/2025/PA.Krw tanggal 28 Agustus 2025 dibatalkan dan perkara selanjutnya akan diadili langsung oleh majelis hakim PTA Bandung.
Selain itu, semua eksepsi yang diajukan oleh Termohon ditolak. Dalam pokok perkara, majelis memutuskan bahwa permohonan pembatalan pernikahan yang diajukan oleh Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Selain itu, biaya perkara tingkat pertama sebesar Rp380.000 dikenakan kepada Pemohon, sedangkan biaya perkara tingkat banding sebesar Rp150.000 dikenakan kepada Pembanding.
Putusan ini diambil oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Drs. H. Ahmad Jakar, M.H., dengan hakim anggota Drs. H. Ujang Jamaludin, S.H., M.H., serta Dra. Hj. St. Masyhadiah D, M.H.
Potensi Pengaruh terhadap Perkara Lain
Perkembangan ini berpotensi mengubah arah perkara lain yang masih berlangsung, terutama sengketa pembatalan ahli waris Nomor 3999/Pdt.G/2025/PA.Krw yang hingga kini masih deadlock dalam tiga kali proses mediasi.
Sebelumnya, nasib pilu dialami Diah Susanti, yang pernikahannya dengan suaminya Heng Erik Harvy Hendriek dibatalkan di Pengadilan Agama (PA) Karawang. Ia telah menikah sejak tahun 2012, dan suaminya juga menjadi mualaf saat menikahinya. Pernikahannya dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) wilayah Karawang.
Namun, setelah sang suami meninggal pada Mei 2024, adik suaminya melakukan gugatan pembatalan pernikahan di Pengadilan Agama Karawang. Tim Kuasa Hukum Arief Budiman menduga bahwa pembatalan pernikahan ini disebabkan oleh masalah warisan dan penguasaan harta suami kliennya.
Adik almarhum suami kliennya, Heng Carla Hendriek, mengajukan permohonan gugatan Pembatalan Pernikahan dalam Perkara Nomor: 1187/PDG.G/2025/PA.KRW. Majelis hakim pengadilan mengabulkan permohonan pembatalan pernikahan tersebut. Namun, pihaknya saat ini dalam tahap banding dalam perkara nomor 285/PDT.G/2025/PTA. Bandung.
Kritik terhadap Proses Hukum
Arief Budiman menilai bahwa langkah hukum yang dilakukan oleh Heng Carla Hendriek terindikasi ingin menguasai harta waris dua anak yatim. Padahal, ayah dari anak yatim itu telah menerbitkan surat wasiat yang isinya menyatakan seluruh harta peninggalannya menjadi hak kedua anaknya masing-masing mendapatkan 50 persen.
Menurut Arief, adik almarhum tidak memiliki hak untuk mengajukan gugatan pembatalan pernikahan karena bukan salah satu dari pasangan tersebut atau orang tua dari pasangan itu. “Ini aneh, ini pernikahan islam karena almarhum mualaf yang ajukan pembatalan non islam. Terus yang gugat pembatalannya adiknya, harusnya suami itu sendiri kalaupun meninggal orangtua atau hierarki ke atas bukan kebawah,” katanya.
Penjelasan dari Pengadilan Agama Karawang
Ketua PA Karawang, Isrizal Anwar, S.Ag., M.Hum., melalui Humas PA Karawang, Saleh Umar, S.H.I, M.H., menjelaskan bahwa putusan tersebut diambil setelah majelis mempertimbangkan adanya pelanggaran administratif dalam pernikahan tersebut. “Pengadilan Agama Karawang memutuskan pembatalan pernikahan, sudah diputuskan batal dan sekarang banding,” ujar Saleh Umar.
Ia juga menegaskan bahwa walaupun penggugat, Heng Carla Hendriek, beragama non-Muslim, ia tetap memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan karena masih satu keluarga dengan almarhum. “Dasar hukumnya itu, si pihak punya ikatan saudara. Itu dibuktikan dengan surat keterangan yang diajukan. Kalau orang lain di luar ikatan keluarga itu enggak boleh, enggak ada kepentingan. Kalau ini kan keluarga, jadi masih ada kepentingan,” jelasnya.
Terkait status agama penggugat, PA Karawang menegaskan hal tersebut bukan masalah dalam perkara administrasi pernikahan. “Status kepercayaan bibi tidak masalah, karena yang diinikan administrasi pernikahannya seusai tidak dengan aturan yang berlaku,” kata Saleh.


















