Turun berat badan bukan penyiksaan, tapi pemahaman tubuh

AA1RRfeL

Perubahan yang Berkelanjutan: Mengubah Pandangan terhadap Penurunan Berat Badan

Penurunan berat badan sering kali dianggap sebagai proses yang penuh dengan kesulitan dan rasa sakit. Banyak orang mengaitkannya dengan menahan lapar, membatasi asupan makanan secara ekstrem, serta melakukan olahraga yang melelahkan tanpa memperhatikan kondisi fisik dan mental. Dengan pandangan ini, banyak orang percaya bahwa rasa sakit dan ketidaknyamanan adalah harga yang harus dibayar untuk memiliki tubuh yang ideal. Namun, hal ini justru membuat proses diet menjadi siklus menyiksa yang akhirnya berujung pada kelelahan, stres, bahkan kegagalan yang terus-menerus.

Sebaliknya, perubahan yang bertahan lama tidak lahir dari cara yang keras dan ekstrem. Ketika seseorang mulai memandang tubuh sebagai sistem yang perlu dipahami, bukan sebagai lawan, maka proses penurunan berat badan akan lebih kuat dan efektif. Dalam pendekatan ini, tubuh tidak lagi “dipaksa” berubah, tetapi dibimbing dengan cara yang lebih manusiawi dan seimbang.

Menjadi Proses Pembelajaran dan Kesadaran Diri

Dengan mengubah sudut pandang, penurunan berat badan tidak lagi dilihat sebagai bentuk penyiksaan, melainkan sebagai proses pembelajaran dan kesadaran diri. Mengenal tubuh berarti memahami bahwa setiap individu memiliki ritme, kebutuhan, dan batasannya sendiri. Ketika pemahaman ini terbentuk, perubahan tidak hanya terlihat dari angka timbangan, tetapi juga dari cara seseorang memandang dirinya: lebih tenang, lebih sadar, dan lebih siap membangun gaya hidup yang sehat dalam jangka panjang.

Saat Sains Bertemu Pengalaman

Dalam praktiknya, saya mulai mengubah cara pandang terhadap penurunan berat badan dengan memahami konsep defisit kalori. Awalnya, saya mengira defisit kalori berarti makan di bawah jumlah kebutuhan asupan hingga sekitar 1400 kalori per hari. Namun, ternyata jumlah ini terlalu rendah bagi tubuh saya karena saya juga melakukan olahraga. Awalnya semua terasa baik-baik saja, tetapi beberapa hari kemudian tubuh menjadi lebih cepat lelah, konsentrasi terganggu, dan yang terparah adalah jadwal menstruasi saya menjadi berantakan. Dari pengalaman ini, saya mulai memahami bahwa defisit kalori yang terlalu ekstrem tidak selalu mempercepat hasil, justru bisa merusak hubungan saya dengan tubuh.

Pengalaman lainnya adalah saat saya membiarkan diri berolahraga di malam hari meskipun tubuh sudah cukup lelah setelah aktivitas seharian. Saya membuat diri saya seolah-olah tidak lelah, padahal sebenarnya tubuh sedang memberikan sinyal untuk beristirahat. Kebiasaan ini justru membuat saya merasa tertekan dan kehilangan motivasi. Saya menganggap kelelahan sebagai bukti bahwa saya “berusaha cukup keras”, padahal sebenarnya itu tanda tubuh butuh istirahat. Dari sini, saya belajar bahwa olahraga tidak seharusnya menjadi hukuman, melainkan bentuk perawatan terhadap tubuh.

Pola Pikir yang Terlalu Kaku

Selain itu, saya juga pernah terjebak dalam pola pikir yang terlalu kaku terhadap jenis makanan seperti menghindari nasi karena menganggap karbohidrat sebagai penyebab kenaikan berat badan. Hal ini dipengaruhi oleh banyak informasi yang beredar di media sosial. Namun, di sisi lain, saya banyak mengonsumsi ultra-processed food (UPF). Saat itu, saya hanya fokus pada jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh. Selama kalori masih “sesuai target”, saya merasa sudah melakukan hal yang benar, meskipun tubuh terasa lebih cepat lapar, energi tidak stabil, dan keinginan untuk makan berlebihan justru meningkat.

Tekanan dari Lingkungan

Tekanan tidak hanya datang dari dalam diri, tetapi juga dari lingkungan sekitar. Saya mendapat ejekan halus dari keluarga dan teman. Ada yang berkata, “Buat apa sok diet?” atau “Ngapain sih makan sayur banyak banget?” Kalimat-kalimat seperti ini terdengar sederhana, namun perlahan menggerus kepercayaan diri saya. Alih-alih merasa didukung, saya justru merasa aneh karena berusaha hidup lebih sehat. Namun, saya memilih menganggap hal tersebut sebagai angin lalu dan tidak menyimpannya dalam hati.

Reiterasi: Berdamai dengan Tubuh Sendiri

Semua pengalaman ini akhirnya mengajarkan saya satu pelajaran penting: pendekatan yang terlalu keras dan lingkungan yang tidak mendukung bisa menjadi hambatan besar dalam perubahan gaya hidup. Saya menyadari bahwa proses menjadi lebih sehat membutuhkan keberanian, bukan hanya untuk melawan kebiasaan lama, tetapi juga untuk berdiri teguh di tengah komentar. Perubahan yang bermakna baru benar-benar terjadi ketika saya berhenti membuktikan sesuatu pada orang lain dan mulai fokus pada kesejahteraan diri saya sendiri.

Menurunkan Berat Badan dengan Pemahaman yang Lebih Dalam

Pada akhirnya, saya ingin menekankan bahwa menurunkan berat badan bukanlah tentang menyiksa tubuh dengan berbagai cara ekstrem, melainkan tentang membangun pemahaman yang lebih dalam terhadap kebutuhan tubuh. Pengalaman melewati diet ketat, pembatasan berlebihan, serta tekanan dari lingkungan telah mengajarkan bahwa perubahan yang dipaksakan hanya akan menghasilkan kelelahan, baik fisik maupun emosional.

Saya kembali menekankan bahwa defisit kalori bukanlah tujuan utama, melainkan alat yang seharusnya digunakan dengan bijak. Ketika saya berhenti menjadikan angka timbangan sebagai satu-satunya standar keberhasilan, saya mulai melihat bahwa kualitas hidup, kestabilan energi, dan kesehatan mental jauh lebih penting daripada angka timbangan. Proses ini bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang konsistensi dan keseimbangan.

Dengan demikian, ini semua mengajarkan bahwa perjalanan mengenal tubuh adalah fondasi utama dalam upaya menurunkan berat badan secara sehat. Bukan tentang siapa yang paling kuat menahan lapar, melainkan siapa yang paling mampu menghargai tubuhnya sendiri. Ketika tubuh diperlakukan sebagai sahabat, bukan musuh, maka perubahan yang terjadi bukan hanya terlihat, tetapi juga terasa dan mampu bertahan dalam jangka panjang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *